Pernyataan Prabowo tentang "ikut saya atau nonton di pinggiran" kemarin merupakan penegasan bahwa oposisi dan demokrasi akan ditinggalkan. Namun, tantangan terbesar adalah 1) kesadaran politik kelas menengah kita, baik kalangan kampus maupun profesional, telah terbiasa dengan dialog, bukan monolog. 2) Pilkada serentak bulan November dapat mendelegitimasi konsolidasi Prabowo, jika di provinsi-provinsi besar, kandidat gubernur dukungan Prabowo kalah. 3) Jika parpol ideologis seperti PDIP dan PKS secara terbuka menolak kembali pada model kepemimpinan tanpa demokrasi.
Situasi ini masih akan kita lihat beberapa bulan ke depan. Belum lagi penggembosan "kebaikan hati" atau istilah Rocky Gerung "Ketulusan Hati" Prabowo itu dilakukan oleh gerombolan "toxic", yang ada di kelompoknya kini. Apa yang akan terjadi? Pastinya rakyat akan membenci Prabowo jika janji kesejahteraan cuma tinggal janji.
Penutup
Sebagaimana tesis saya di Bravos Radio Channel YOUTUBE bahwa Prabowo adalah diktator yang baik hati, mulai terlihat. Kemarin kediktatoran itu mulai berkumandang dengan pidato di PAN bahwa Prabowo ingin tidak ada oposisi: ikut saya atau kalian cuma penonton. Namun, dalam pidato itu prabowo menambahkan bahwa dirinya ingin konsolidasi total selama 3-4 tahun menghapuskan kemiskinan di Indonesia.
Persoalannya apakah kita siap menghadapi kediktatoran meskipun tujuannya kesejahteraan rakyat? Apalagi sudah 26 tahun kita terbiasa dengan iklim demokrasi, meskipun sebagiannya demokrasi semu.
Waktu akan terus berjalan. Tinggal rakyat memilih nantinya.