Tudingan para pendukung Ahok yang menyebut TNI berencana makar kepada Presiden Jokowi sedikit banyaknya mirip-mirip dengan pola Partai Komunis Indonesia (PKI). Fitnah keji terhadap institusi pertahanan negara ini semakin menggila sejak dipublikasikannya artikel “Trump's Indonesian Allies in Bed with ISIS-Backed Militia Seeking to Oust Elected President” yang ditayangkan oleh Allan Nairn.
Sebenarnya, stempel PKI sudah dialamatkan kepada pendukung Jokowi sebelum Pilpres 2014. Stempel PKI ini merupakan kampanye hitam yang paling murah-meriah. Pelakunya menggunakan stempel PKI untuk memanfaatkan trauma kolektif bangsa Indonesia. Dan, sebagai kampanye hitam, stempel PKI tidak perlu pembuktian. Karenanya, jika ditanya alasannya pun, penstemple PKI kepada pendukung Jokowi tidak pernah bisa memberikan jawabannya. Hanya “PKI”, “PKI”, “PKI”, ... dan “PKI”.
PKI memang sudah tidak ada lagi. Dan, sebelum TAP MPRS No. 25 Tahun 1966 dicabut, PKI atau partai yang berideologikan kumunisme tidak akan terbentuk lagi. Namun demikian, praktek politik ala PKI pun tidak terkubur begitu saja. Faktanya, praktek politik yang membawa Indonesia ke dalam jurang kehancuran tersebut kembali ditiru oleh kelompok yang dikenal sebagai pendukung Ahok yang rerata juga sebagai pendukung Jokowi ini.
Artikel ini pun ditulis bukan untuk menuding atau memberi stempel PKI kepada pendukung Ahok atau yang lebih dikenal dengan Ahoker. Artikel ini hanya menyoroti adanya kesamaan pola yang dipraktekan PKI dan Ahoker. Sederhananya, Ahoker menjiplak pola PKI.
Dan, tudingan makar kepada TNI hanyalah satu dari sejumlah praktek politik PKI yang dicopas. Menariknya, ada sejumlah pola PKI lainnya yang juga dipraktekkan oleh pendukung Ahok yang dikenal sebagai Ahoker ini.
Artikel Allan Nairn yang Mirip Isu Dewan Jenderal
Jelang September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal. Menurut isu yang beredar ini, ada sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap kebijakan Presiden Soekarno dan berencana untuk menggulingkannya. Isu Dewan Jenderal ini mirip sebelas dua belas dengan isu adanya rencana makar terhadap Jokowi yang dilakukan oleh sejumlah perwira aktif TNI sebagaimana yang dipublikasikan Allan Nairn. Waktu kemunculan kedua isu itu pun sama: di saat situasi nasional tengah memanas
Bersamaan dengan tuduhan makar, sejumlah pihak juga berupaya melemahkan posisi TNI dengan mendesak Presiden Jokowi untuk segera mencopot Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI. Menurut pendesak pencopotan, TNI di bawah kepemimpinan Gatot tidak mengalami perkembangan, terutama di bidang keamanan maritim. Lebih lanjut, Gatot pun dianggap lebih mementingkan pembangunan di sektor pertahanan darat dengan membentuk dua kodam.
Pandangan negatif terhadap Gatot ini tentunya ngawur dan asal njeplak. Sebab, sebagai perwira tinggi yang telah menempuh serentetan pendidikan dan melewati asam garam dunia kemiliteran, Gatot pastinya memiliki metode tertentu untuk lebih menguatkan sistem pertahanan NKRI. Kebijakan Gatot pastinya diambil setelah mengukur sumber daya yang dimiliki Republik Indonesia, bak itu sumber daya manusia, teknologi, maupun dana.
Upaya pelemahan TNI ini bukanlah isu baru. Sejak 1998, sejumlah pihak mendesak TNI untuk bersikap profesional dengan mengambil contoh negara-negara lain. TNI pun dipaksa kembali ke barak militernya. Para pendesak itu tidak tahu kalau barak TNI adalah tanah air. Dan, di tanah air itu TNI bersama dengan rakyat menjaga kedaulatan NKRI.