Dalam konteks perkembangan politik dan ekonomi di Indonesia, otonomi daerah menjadi salah satu kebijakan penting yang dirancang untuk mendorong kemandirian dan efisiensi dalam pengelolaan sumber daya di tingkat lokal. Otonomi daerah memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengelola urusan mereka sendiri, termasuk dalam hal pengalokasian anggaran. Namun, meskipun tujuan awal dari otonomi daerah adalah untuk mengurangi ketimpangan ekonomi antar daerah, kenyataan di lapangan menunjukkan banyak tantangan yang harus dihadapi.
Ketimpangan ekonomi daerah di Indonesia adalah isu yang kompleks dan berdimensi multidimensional. Dalam praktiknya, alokasi anggaran di berbagai daerah sering kali tidak seimbang, yang mendorong perbedaan dalam pertumbuhan ekonomi. Daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah atau potensi ekonomi yang besar, seperti Jakarta, Jawa Barat, dan Bali, cenderung menerima porsi anggaran yang lebih besar dibandingkan dengan daerah lainnya. Di sisi lain, daerah yang terpencil atau dengan industri yang kurang berkembang, seperti kawasan Papua atau Nusa Tenggara, mengalami keterbatasan dana yang berimbas pada pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi dalam implementasi otonomi daerah adalah kemampuan dan kapasitas dari pemerintah daerah itu sendiri. Banyak pemerintah daerah, terutama di daerah tertinggal, tidak memiliki sumber daya manusia dan keahlian yang mencukupi untuk merencanakan dan mengelola anggaran secara efektif. Akibatnya, alokasi anggaran yang seharusnya dilakukan untuk pembangunan infrastruktur dan peningkatan pelayanan publik sering kali tidak tepat sasaran. Ketika alokasi anggaran tidak dikelola dengan baik, hal ini akan berkontribusi pada peningkatan ketimpangan ekonomi.