Setelah pilkada, biasanya akan ada periode transisi sebelum kepala daerah yang baru mulai melaksanakan kebijakan. Selama periode ini, banyak calon kepala daerah yang telah terpilih akan mulai melakukan penataan dan evaluasi terhadap proyek-proyek yang ada. Mereka sering kali akan menunjuk rekanan atau kontraktor yang dianggap loyal dan mendukung selama kampanye. Hal ini menimbulkan tanda tanya, apakah semua proyek yang diberikan merupakan hasil dari proses tender yang transparan ataukah semata-mata untuk memberikan keuntungan kepada pihak-pihak tertentu.
Tentu saja, ini menciptakan potensi masalah korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Ketika proyek daerah diserahkan kepada pengusaha yang tidak benar-benar memenuhi kriteria profesionalisme, bukan hanya kualitas proyek yang diragukan, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah dapat menurun. Oleh karena itu, penting untuk adanya pengawasan yang ketat dari masyarakat serta lembaga terkait untuk memastikan bahwa proyek yang dilaksanakan benar-benar berorientasi pada kepentingan publik, bukan sekadar memenuhi kepentingan politik semata.
Melihat dari sisi investasi, sektor infrastruktur menjadi salah satu yang paling banyak menyedot anggaran proyek daerah. Proyek seperti pembangunan jalan, jembatan, dan fasilitas umum lainnya sering kali dikerjakan oleh kontraktor yang memiliki kedekatan dengan kepala daerah terpilih. Anggaran yang besar untuk proyek-proyek ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para investor dan pengusaha. Namun, untuk mendapatkan proyek tersebut, tidak jarang mereka harus melakukan pendekatan politik yang kuat, mengingat pilkada dan proyek daerah berjalan dalam satu ekosistem yang saling mempengaruhi.