Tetapi, Istana punya perhitungan lain. Moeldoko dicoret dan Wiranto yang terpilih. Penunjukan Wiranto sebagai Menko Polhukam terbilang keputusan tepat, mengingat situasi politik nasional saat itu membutuhkan ketokohan Wiranto yang memiliki jejak sejarah panjang dalam percaturan politik nasional.
Dalam menghadapi persaingan Pilpres 2019 yang bakal berlangsung lebih sengit dari pilpres yang digelar lima tahun sebelumnya, Jokowi bakal dipasangkan dengan mantan militer.
Dan, dari sedikit purnawirawan berbintang empat yang masih “segar”, Moeldoko menjadi salah seorang yang memiliki peluang tertinggi karena memilik kedekatan politik dengan Jokowi.
Jenderal (Purn) Djoko Santoso, misalnya, dikenal lebih dekat dengan Prabowo. Sementara, Jenderal Gatot Nurmantyo yang baru akan pensiun pada Maret 2017 lebih memilih posisi yang berseberangan dengan pemerintah Jokowi. Sebaliknya, Mantan Panglima TNI lainnya, Laksamana (Purn) Agus Suhartono menyatakan ogah masuk ke dunia politik dan lebih memilih menjadi pengamat. Agus Suhartono.
Jika mencari rilis hasil survei yang terkait Pilpres 2019, memang nama Moeldoko tidak akan ditemukan mesin pencari Google. Hal ini tidak mengherankan, sebab sebagaimana mantan-mantan Panglima TNI lainnya, namanya kurang populer.
Ketidakpopuleran Moeldoko cukup beralasan, mengingat situasi politik dan keamanan relatif tenang. Inilah yang membedakan era Moeldoko, Djoko Suyanto, Djoko Susanto, Agus Suhartono dengan era Gatot Nurmantyo.
Tingkat popularitas pastinya berkaitan dengan tingkat elektabilitas. Namun demikian, tingginya tingkat popularitas belum tentu sejalan dengan tingginya tingkat elektabilitas.
Rhoma Irama, misalnya, disebut-sebut memiliki tingkat popularitas di atas 95 % yang bisa dibilang nyaris sempurna. Tetapi, tingkat elektabilitas Raja Dangdut ini pun paling tinggi hanya 5 %.
Tingat elektabilitas akan sejalan dengan tingkat popularitas jika sentimen positif lebih tinggi dari sentimen negatif. Dan, karena sepanjang karir kemiliterannya Moledoko nyaris tidak memiliki noda, maka sentimen negatif pun relatif kecil.
Dengan sentimen negatifnya yang nyaris tidak ada itu, secara teori, Moedoko tinggal mendongkrak popularitasnya saja. Dan, selanjutnya tingkat keterpilihan pun akan menyusul meningkat.
Karenanya tidak ada yang salah dengan kemunculan Moeldoko lewat sejumlah iklan HKTI yang menyelip di antara jeda acara.
Lagi pula, sebagai calon wakil, Mantan KSAD tersebut tidak terlalu membutuhkan tingkat elektabilitas yang tinggi, Sebab berdasarkan pengalaman sebelumnya, pemilih lebih cenderung melihat pada calon presiden ketimbang calon wakil presiden. Contohnya, Boediono yang digaet SBY saat Pilpres 2009.
Jadi, soal survei, Moeldoko boleh tutup mata. Dan Jokowi tidak perlu mempertimbangkan tingkat elektabilitas lelaki kelahiran Kediri, Jawa Timur, 60 tahun yang lalu ini. Bukankah kalau melihat tingkat elektabilitas, posisi Aburizal Bakrie lebih tinggi ketimbang Jusuf Kalla.
Sebenarnya, Moeldoko sudah kembali masuk ke blantika pemberitaan media tanah air semenjak ia mengeluarkan pernyataan terkait polemik “5.000 pucuk senjata” yang ditimbulkan oleh Panglima TNI penggantinya, Gatot Nurmantyo.