Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini memutuskan untuk mengubah desain surat suara dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan calon tunggal menjadi model plebisit, dengan keterangan pilihan 'setuju' dan 'tidak setuju'. Putusan ini berlaku mulai pada Pilkada 2029 mendatang.
Perubahan desain surat suara ini menuai beragam pandangan dari berbagai pihak. Ada yang setuju dan mendukung keputusan tersebut, namun tak sedikit pula yang mendesak agar MK mempertimbangkan ulang langkah yang diambil.
Pendukung perubahan desain surat suara ini berpendapat bahwa model plebisit dengan opsi 'setuju' dan 'tidak setuju' akan memberikan hak suara kepada masyarakat untuk memberikan pendapat mereka secara terbuka. Hal ini diyakini dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pemilihan kepala daerah, karena mereka memiliki opsi untuk mengekspresikan persetujuan atau penolakan terhadap calon tunggal yang diusung.
Selain itu, pendukung perubahan tersebut juga berargumen bahwa dengan adanya opsi 'tidak setuju', surat suara menjadi lebih representatif bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk bagi mereka yang memiliki ketidakpuasan terhadap calon tunggal tersebut. Dengan demikian, model plebisit dianggap dapat mencerminkan kehendak rakyat secara menyeluruh.