Di tengah harapan masyarakat akan penegakan hukum yang adil dan transparan, keberadaan mafia hukum menjadi ancaman serius bagi kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Fenomena ini mencuat ketika praktik-praktik manipulatif dan kolusi merusak integritas lembaga hukum. Meja hijau, yang seharusnya menjadi simbol keadilan, kini terperdaya oleh jaringan ini, menjadikannya lebih mirip lelucon hitam daripada tempat mencari keadilan.
Mafia hukum bukanlah istilah baru. Sejak zaman dahulu, praktik ini telah ada di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, mafia hukum mengambil bentuk yang lebih kompleks dengan melibatkan oknum aparat penegak hukum, pengacara, serta pihak-pihak lain yang berkepentingan dalam proses penegakan hukum. Keberadaan mafia ini membuat banyak orang merasa bahwa akses keadilan hanya dimiliki oleh mereka yang memiliki uang dan koneksi, bukan berdasarkan hak yang seharusnya dimiliki oleh setiap individu.
Salah satu contoh nyata praktik mafia hukum terlihat dalam kasus-kasus yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan. Misalnya, dalam beberapa kasus korupsi besar, kita sering kali melihat bagaimana penegak hukum berkolusi dengan pelaku kejahatan untuk mengaburkan fakta dan menyembunyikan jejak kriminal. Dalam situasi seperti ini, keadilan menjadi barang langka, dan masyarakat yang berharap agar hukum ditegakkan dengan seadil-adilnya justru merasa kecewa.