Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan fenomena mencolok yang mencerminkan krisis demokrasi di berbagai belahan dunia. Otoritarianisme, yang sebelumnya dianggap sebagai warisan sejarah yang telah ditinggalkan, kini kembali bangkit dengan kekuatan yang mengkhawatirkan. Di tengah kebangkitan ini, muncul pula fenomena populisme yang memperburuk situasi dan mengguncang fondasi demokrasi yang telah dibangun selama beberapa dekade.
Otoritarianisme muncul sebagai respons terhadap ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem politik yang ada. Di banyak negara, kekecewaan terhadap elit politik dan institusi demokrasi telah memicu gelombang populisme. Para pemimpin populis menggunakan retorika yang sederhana dan seringkali emosional untuk menarik dukungan massa, sementara pada saat yang sama, mereka merusak prinsip-prinsip dasar demokrasi. Dengan mengklaim bahwa mereka mewakili 'suara rakyat', banyak pemimpin populis menjalankan agenda yang semakin memperkuat kekuasaan mereka, sering kali melalui cara-cara yang otoriter.
Dalam konteks ini, kita dapat melihat bahwa krisis demokrasi tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang tetapi juga di negara-negara yang selama ini dianggap sebagai bastion demokrasi. Misalnya, beberapa negara maju saat ini menghadapi tantangan internal akibat meningkatnya sentimen anti-establishment, sehingga mempermudah munculnya pemimpin-pemimpin otoriter yang mampu memanipulasi sistem untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.