Kemudian pada Pasal 42 (1). Pasal ini menyebutkan “Penetapan Lokasi pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, dilampiri peta lokasi pembangunan.
“Peta lokasi” pada pasal tersebut pastinya berdasarkan letak tanah atau lokasi fisik tanah..
Lanjut. Pada Pasal 54 (1) disebutkan “Dalam melaksanakan kegiatanya sebagaimana dimaksud dalam pasal 53 ayat (1) ketua pelaksana Pengadaan Tanah dapat membentuk satuan Tugas yang membidangi inventarisasi dan identifikasi; a. Data fisik penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfatan tanah”.
Lagi-lagi disebut “fisik”. Artinya kembali mengacu kepada di mana lahan RS SW itu secara fisik berada, bukan pada alamat YKSW.
Lagi, Pasal 56 (1) mengatakan “Satuan Tugas yang membidangi inventarisasi dan identifikasi data fisik penguasaan,pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf a melaksanakan pengukuran dan pemetaan bidang per bidang tanah, meliputi: a. pengukuran dan pemetaan batas keliling lokasi; dan b. pengukuran dan pemetaan bidang per bidang”.
Pengukuran batas keliling lokasi. Apakah alamat pada sertifikat bisa diukur? Tidak bisa. Karena yang bisa diukur adalah lokasi fisik tanah.
Dalam Pasal 56 menyebutkan juga “batas keliling lokasi”. Nah, di mana saja batas-batas keliling lahan RSSW yang dibeli Pemprov DKI? Apakah lahan yang dibeli itu berbatasan dengan Kyai Tapa seperti yang tercantum sebagai alamat dalam sertifikat tanah?
Jadi semakin gambalang. jika pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang dilihat adalah lokasi fisik lahan, bukan alamat lahan.
Karena dari lokasi fisik itulah ditentukan pemberian ganti rugi dan lain sebagainya. Bicara soal ganti rugi atau ganti untung pastinya tidak lepas dari soal anggaran. Berapa ganti rugi.untung yang lazim diberikan sehingga tidak merugikan negara atau menguntungkan pemilik lahan.
Kalau ada perbedaan, bagaimana? Adanya perbedaan pun dijabarkan dalam perpres tersebut. Hanya saja, sepembacaan saya, perbedaan yang dimaksud dalam Pasal 62 adalah perbedaan luas lahan yang ditentukan oleh batas-batas lahan bukan perbedaan sudut pandang antara “mazhab” Alamat dengan “mazhab” Lokasi Fisik.
Di sini Badan Pertanahan Nasional atau BPN-lah yang paling berperan dalam urusan tersebut. Demikian juga dengan zona NJOP. BPK tidak punya kewenangan untuk menentukannya. BPK hanya memeriksa proses transaksi dari awal sampai akhir.