Dalam kasus SW, BPK menemukan adanya kerugian negara sebagai akibat dari perbedaan zona lahan. BPK tidak melihat dari alamat lahan, tetapi lokasi fisik lahan. “What’s in a name,” kata Shakespeare. “Apa arti sebuah ‘alamat’” bagitu kata BPK.
Sesuai sertifikat, alamat RS SW memang tercantum “KIAI TAPA”. Dan Ahok boleh saja bersikukuh dengan beralasan alamat tersebut. Sebaliknya, BPK mengacu pada lokasi fisik lahan. Lokasi lahan secara fisik bukan berada di Kyai Tapa, bahkan tidak memiliki akses sama sekali dengan Kyai Tapa,
Memang benar, pemerintah telah menerbitkan Perpres No. 40/2014 tentang Perubahan Atas Perpres No. 71/2012. Yang diubah dalam Perpres No. 50/2014 hanya 2 pasal, yaitu Pasal 120 dan Pasal 121. Tetapi, untuk pasal-pasal tentang “lokasi lahan” tidak dirubah sama sekali. Jadi, untuk pembelian lahan RS SW, pasal-pasal dalam Perpres No 71/2012 masih berlaku.
Kalau mengacu Perpres No 71/ 2012, siapa yang ngaco, BPK atau Ahok?
Tapi, tunggu dulu. Ahok belum tentu juga ngaco. Bisa jadi dia tidak paham soal aturan main pembelian lahan. Kalau Ahok tidak paham, artinya KPK benar. Ahok tidak mempunyai niat jahat dalam transaksi lahan RSSW.
Atau mungkin hanya Ahok, ahoker, serta KPK yang memahami Perpres Nomor 71 Tahun 2012 dan Perpres No. 40/2014. Entahlah. Yang pasti sampai hari ini mereka belum masih ngotot soal denah lahan RSSW versi bersinggungan dengan Kyai Tapa.