Namun, beberapa kalangan menganggap tindakan Soekarno dalam konfrontasi ini sebagai bentuk nekadisme. Kebijakan luar negeri yang agresif dan cenderung unilateral mengakibatkan konflik militer yang berkepanjangan. Ketegangan semakin meningkat dengan adanya berbagai insiden, seperti serangan militer yang dilancarkan oleh pasukan Indonesia ke wilayah Malaysia. Dalam pandangan ini, beberapa pengamat menilai bahwa pendekatan yang diambil oleh Soekarno dalam menghadapi Malaysia mengabaikan diplomasi yang mungkin lebih efektif dalam mencapai tujuan politiknya.
Di tengah hiruk pikuk konfrontasi ini, sentimen nasionalisme memang sangat terasa di kalangan masyarakat. Propaganda yang mengedepankan semangat juang dan keberanian rakyat untuk melawan penjajahan mendapatkan dukungan luas. Rakyat Indonesia banyak yang merasa bangga dengan tindakan yang diambil pemerintah, meski di sisi lain, konflik ini juga membawa dampak negatif, seperti kerugian ekonomi dan kerusakan infrastruktur. Dapat dikatakan bahwa nasionalisme Soekarno dalam menghadapi Malaysia merupakan pisau bermata dua; di satu sisi, ia mampu membangkitkan semangat nasional yang tinggi di kalangan rakyat, tetapi di sisi lain, kebijakan ini menuntut pengorbanan yang tidak sedikit.
Berbagai skenario internasional juga turut mempengaruhi konfrontasi ini. Terlebih, situasi Perang Dingin dan ketegangan antara kubu Barat dan Timur memberikan latar belakang yang lebih luas terhadap konflik Indonesia dan Malaysia. Sementara itu, dukungan negara-negara komunis seperti Uni Soviet dan Cina terhadap Indonesia membuat posisi Soekarno semakin kuat dalam konteks geopolitik. Namun, di balik dukungan tersebut, ada juga konsekuensi yang harus ditanggung Indonesia, seperti terisolasi dari sejumlah negara Barat dan meningkatnya ketegangan diplomatik.