Di banyak negara, kita melihat fenomena bagaimana isu-isu keagamaan muncul sebagai alat pemecah belah dalam pemilu. Misalnya, sebagian calon legislatif akan secara terang-terangan mengaitkan diri mereka dengan Tuhan dan nilai agama untuk menarik suara dari kelompok tertentu. Mereka berusaha membangun citra sebagai "wakil Tuhan" yang bersih dan amanah. Dalam banyak kasus, hal ini berhasil mendatangkan dukungan dari masyarakat yang peduli akan integritas moral, tetapi di balik narasi itu, seringkali justru bersembunyi kepentingan politik yang lebih kompleks.
Konteks ini juga menimbulkan potensi polarisasi dalam masyarakat. Ketika Tuhan dijadikan alat untuk meraih kekuasaan, bisa jadi yang terjadi sebaliknya adalah perpecahan antara yang "beriman" dan yang "tidak beriman". Hal ini berbahaya karena ia menciptakan kesenjangan yang lebih besar dan saling menyalahkan antara kelompok yang berbeda. Dalam hal ini, Tuhan justru tidak hanya ada di dalam kotak suara, tetapi juga menciptakan kubu-kubu yang saling berjualan.
Lebih jauh, fenomena pemilu ini juga dapat menyebabkan kehilangan nilai-nilai spiritual universal yang seharusnya ditegakkan. Ketika Tuhan dijadikan alat legitimasi, nilai-nilai cinta, kasih sayang, dan keadilan—yang seharusnya menjadi landasan beragama—mulai tergantikan oleh ambisi politik. Dengan kata lain, Tuhan yang seharusnya menjadi sumber inspirasi untuk mewujudkan masyarakat yang lebih baik, malah dijadikan representasi bagi kepentingan individu atau kelompok.