Pemilihan umum atau pemilu merupakan momen penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di sinilah suara rakyat diuji, harapan masa depan dicanangkan, dan kebijakan-kebijakan strategis ditentukan. Namun, dalam proses yang seharusnya rasional ini, seringkali Tuhan seakan “ditempatkan” dalam kotak suara oleh segelintir orang. Pertanyaannya, bagaimana Tuhan bisa masuk dalam konteks politik dan pemilu?
Bicara tentang Tuhan dalam konteks pemilu, kita tidak bisa menghindari kenyataan bahwa ajaran agama seringkali menjadi acuan dalam menentukan pilihan seseorang. Banyak politisi yang menggunakan simbol-simbol keagamaan dalam kampanye mereka untuk meraih dukungan massa. Ini menciptakan dualisme: di satu sisi, Tuhan dijadikan representasi moralitas dan nilai-nilai luhur; di sisi lain, agama dimanfaatkan untuk kepentingan politik yang sangat pragmatis. Dalam situasi ini, Tuhan seolah-olah diletakkan di dalam kotak suara, menjadi bagian dari sistem yang bisa dimanfaatkan untuk menggalang suara.
Bagi sebagian orang, mendorong agama dalam pemilu bisa dilihat sebagai cara untuk menciptakan pemimpin yang lebih baik. Namun, pendekatan ini justru dapat mengaburkan esensi dari nilai-nilai keagamaan itu sendiri. Salah satu pertanyaan yang perlu diajukan adalah, apakah keputusan politik kita sepenuhnya didasarkan pada ajaran Tuhan yang kita anut, ataukah lebih kepada pengaruh dari kepentingan-kepentingan tertentu? Ini adalah refleksi penting yang harus dilakukan agar pemilu tidak sekadar menjadi ajang untuk memperebutkan kekuasaan semata.