Beberapa jam setelah Wickremesinghe menjadi presiden, militer dikerahkan untuk membubarkan kerumunan massa di Galle Face, Kota Kolombo, yang menjadi pusat protes. Puluhan tentara menyerbu lokasi tersebut guna membongkar tenda-tenda dan barang-barang milik para demonstran.
“Ranil melindungi keluarga Rajapaksa dari kemarahan rakyat. Dia memastikan kelangsungan parlemen, kabinet, dan pemerintah yang dipimpin oleh SLPP. Dia tidak melakukan apa pun untuk menghentikan korupsi, dan bahkan menekan kemajuan penyelidikan terhadap anggota keluarga Rajapaksa,” kata analis politik, Jayadeva Uyangoda.
“Dia juga melindungi mereka dari tekanan internasional yang meminta pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi manusia yang serius, dan tuduhan-tuduhan yang berkaitan dengan perang," imbuhnya.
Hal ini telah membuat marah banyak orang Sri Lanka yang hidup dalam krisis keuangan dan mengalami lebih banyak kesulitan. Apalagi reformasi untuk menghidupkan kembali ekonomi yang stagnan tidak berjalan sesuai harapan banyak orang. Meskipun tidak ada kelangkaan BBM atau pemadaman listrik, tapi harga-harga telah meroket. Pemerintah juga telah menghapus subsidi untuk kebutuhan pokok seperti listrik serta memotong pengeluaran bantuan sosial.
Sementara itu, pajak telah meningkat karena Wickremesinghe telah meningkatkan tarif pajak secara tajam. Beberapa ekonom mengatakan bahwa langkah-langkah yang menyakitkan ini diperlukan untuk memulihkan stabilitas makro-ekonomi Sri Lanka karena negara ini sedang berusaha merestrukturisasi utang internasionalnya sembari tetap berpegang pada ketentuan-ketentuan dana talangan yang disetujui Dana Moneter Internasional (IMF).
Cadangan devisa negara ini telah meningkat menjadi sekitar US$6 miliar (Rp91,6 triliun) dari hanya US$20 juta (Rp305 miliar) pada puncak krisis, dan inflasi sekitar 0,5%. Namun, dampak nyata yang dirasakan oleh jutaan masyarakat Sri Lanka sangatlah buruk.
Ini adalah pemikiran yang ingin diubah oleh Namal Rajapaksa ia ingin memenangkan kembali basis pendukungnya. Kampanyenya berpusat pada warisan ayahnya, Mahinda, yang masih dianggap sebagai pahlawan oleh sebagian rakyat Sri Lanka.
Padahal, di luar negeri ada beberapa seruan internasional untuk mengadili Mahinda atas kejahatan perang. PBB memperkirakan bahwa 100.000 orang termasuk 40.000 warga sipil Tamil dibunuh oleh militer Sri Lanka pada tahap akhir konflik. Namun, Mahinda Rajapaksa tidak pernah dihukum atas kesalahan apapun dan menolak tuduhan tersebut.
Gambar Mahinda menghiasi demonstrasi kampanye Namal dan unggahan media sosialnya menampilkan ilustrasi yang menunjukkan dia bersama ayahnya ketika dia masih muda. Ia bahkan berusaha mencari kemiripan dengan ayahnya, menumbuhkan kumis dan mengenakan selendang merah khas Mahinda.
Banyak dari unggahan kampanyenya yang bernada menantang: “Kami tidak takut akan tantangan; bahkan, kami menyambutnya. Itu adalah sesuatu yang saya pelajari dari ayah saya.”
Unggahan lain menyebutnya sebagai “patriotik, berani dan berpikiran maju”.
“Menurut saya, Namal Rajapaksa berpikir bahwa dengan mewakili warisan ayahnya akan memungkinkan dia melindungi basis suara ayahnya dan mendapatkan keuntungan darinya,” kata Prof Uyangoda.
“Ini adalah salah satu cara untuk membangun kembali basis pemilih SLPP yang hancur.”