Oleh : Emha Ainun Nadjib.
Seluruh pertengkaran kokok ayam yang tak kunjung reda ini semoga hanyalah “love hate relationship” dalam percintaan rumah tangga. Sebenarnya semua pihak diam-diam merasa rindu untuk menyatu kembali.
Tetapi mungkin sekali asumsi saya ini “over-romantic” dan simplifikatif. Kalau Pak Ayam Jago bilang “masalah bangsamu bukan bab kebenaran, tapi kekuasaan. Bukan soal perbedaan tafsir suara kokok ayam, melainkan soal penggumpalan modal, penggunaannya untuk penguasaan, kapitalisasi hukum, pasar jabatan, pembotohan kepemimpinan – sampai kelak tuntas pemilikan dan penjajahan atas Negeri ini…” – susah dibantah juga.
Tapi kalau dibilang “problem primer kita adalah nilai”, tidak bisa disalahkan juga, sampai-sampai Pancasila dipolarisasikan dengan Islam, Negara didikotomikan dengan Agama. Itu semua bukan soal substansi nilai dan parameter kebenaran, melainkan bagian dari strategi cuci otak nasional dan global. Semakin banyak orang yang tidak memahami bahwa itu sebenarnya soal “maqam” atau konteks. Kalau di Pasar, orang bertanya “Sampeyan siapa?”, kita jawab “Saya dari Kadipiro”. Kalau di pertemuan bangsa-bangsa, kita jawab “Saya Indonesia”. Kalau di perkumpulan kerukunan ummat beragama, kita jawab “Saya Budha”. Kalau menghadap Tuhan, kita bilang “Aku hamba-Mu”. Tidak di setiap ruang dan waktu tepat kita bilang “Saya Indonesia, Saya Pancasila”. Bahkan kepada istri di kamar pribadipun tidak kita katakan “Saya suamimu”.
Jadi apa sebenarnya yang berlangsung? Pakai Bahasa sehari-hari saja deh. Semua ini hanya bagian otomatik dari alur stigma dan fobi internasional, yang kini juga sangat berlaku nasional: untuk “tidak menyukai Islam”. Pokoknya Islam itu buruk, kumuh, bodoh, radikal, teroris, intoleran, uncivilized, bukan pahlawan kemerdekaan, udik sejarah, tidak bisa move-on. Apapun saja narasi politik, retorika informasi dan diplomasi komunikasinya: ujungnya adalah Islam itu terkutuk dan harus disirnakan.