Dalam beberapa tahun terakhir, isu boikot musik menjadi semakin hangat diperbincangkan, terutama di kalangan seniman dan musisi. Ketika tekanan sosial dan politik meningkat, banyak seniman yang merasakan tanggung jawab untuk bersuara. Namun, ada juga segelintir musisi yang memilih untuk tetap apolitis, enggan terjun dalam arena politik yang penuh dengan kontroversi. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan mengenai independensi seniman dan peran mereka dalam boikot musik.
Boikot musik sering kali digunakan sebagai alat perjuangan dalam menanggapi ketidakadilan sosial. Musisi seperti Roger Waters dan lainnya memberi contoh nyata bagaimana mereka menggunakan platform musik untuk menyuarakan ketidakpuasan terhadap kebijakan politik yang ada. Namun, tidak semua musisi mendukung cara ini. Beberapa dari mereka memilih untuk tetap apolitis, beranggapan bahwa seni dan musik seharusnya bebas dari pengaruh politik dan tidak terikat oleh perhatian atau ideologi tertentu.
Independensi seniman menjadi topik penting dalam perdebatan ini. Banyak musisi berargumen bahwa dengan menempelkan label politik pada karya mereka, mereka justru mereduksi pesan universal yang ingin mereka sampaikan. Menurut mereka, musik seharusnya menjadi sarana untuk menyatukan orang-orang, bukan memecah belah mereka. Sikap ini mencerminkan kesadaran akan potensi musik sebagai medium yang dapat melampaui batasan politik dan budaya.