Namun, realitanya, banyak peminat musik justru mengharapkan sensitivitas sosial dari musisi. Mereka ingin mendengar suara para seniman sebagai respon terhadap isu-isu yang relevan, seperti diskriminasi, ketidakadilan, dan perubahan iklim. Ketika musisi memilih untuk berpihak pada apolitik, hal ini tak jarang menimbulkan kekecewaan bagi penggemar yang mencari inspirasi dan dukungan dari sosok yang mereka kagumi.
Melalui boikot musik, beberapa penyanyi dan band berusaha menentang kebijakan atau tindakan tertentu yang mereka anggap tidak adil. Misalnya, saat ada festival musik yang diselenggarakan di negara dengan pelanggaran hak asasi manusia yang signifikan, beberapa musisi menolak untuk tampil, berpartisipasi dalam kampanye boikot, dan mendukung gerakan sosial di baliknya. Ini pulalah yang mendorong perdebatan mengenai apakah seniman seharusnya terlibat dalam isu-isu politik atau tetap di jalur apolitik, mempertahankan independensi mereka.
Tak dapat dipungkiri, menjadi apolitis dalam dunia yang penuh dengan ketidakadilan dan konflik bisa menjadi tindakan yang penuh risiko. Musisi yang memilih apolitical stance sering menghadapi kritik dari rekan sejawat dan publik yang mendukung keterlibatan aktif. Beberapa bahkan menilai sikap ini sebagai bentuk ketidakpedulian terhadap realitas sosial. Sementara itu, tidak sedikit yang menganggap bahwa tindakan apolitik adalah bentuk perlawanan itu sendiri, dengan adanya keyakinan bahwa seniman tetap dapat menciptakan dampak positif tanpa harus terlibat dalam permainan politik.