Pernah mengalami patah hati? Patah hati dapat membuat seseorang merasa terpuruk dan bahkan bisa membuat diri kita merasa berada di titik terendah hidup. Patah hati atau putus cinta bisa memicu luapan emosi negatif hingga terasa menyakitkan secara fisik. Dan emosi negatif ini dipengaruhi oleh hormon. Hormon tersebut adalah hormon stres kortisol, adrenalin dan noradrenalin serta penurunan hormon bahagia serotonin dan oksitosin dalam tubuh. Saat putus cinta kadar oksitosin dan dopamin turun sementara pada saat sama terjadi peningkatan kadar salah satu hormon yang bertanggung jawab atasi stres yakni kortisol.
Adanya peningkatan hormon kortisol dapat menyebabkan kondisi seperti penambahan berat badan, jerawat, tekanan darah tinggi serta peningkatan kecemasan. Di samping itu juga terjadi penolakan sosial, terjadinya pengaktifan area otak yang berhubungan dengan rasa sakit fisik. Bahkan seorang ahli psikolog klinis yang bernama Eric Ryden mengatakan bahwa efek neurobiologis patah hati yang bisa sedemikian rupa sehingga disamakan dengan rasa sakit fisik. Dibuiktikan dengan gejala fisik seperti nyeri dada, serangan panik dan merasa terpukul. Patah hati dapat melibatkan mkeanisme beberapa saraf yang sama dengan rasa sakit fisik.
Ketika patah hati, ada hormon yang mengaktifkan dua bagian sistem saraf. Otak dan jantung yang merespon menjadi bingung karena menerima pesan yang campur aduk. Hal tersebut bisa mengakibatkan gangguan pada aktivitas listrik jantung dengan variabilitas detak jantung yang lebih rendah. Keadaan variabilitas detak jantung yang rendah seringkali akan menunjukkan gejala seperti kelelahan, kecemasan, depresi dan kurang tidur. Hal yang lebih buruk dapat terjadi akibat patah hati, jika patah hati berlarut-larut bahkan dapat menyebabkan kegagalan otot jantung ketika berlarut-larut dalam duka.