Korupsi anggaran menjadi salah satu tantangan terbesar dalam pengelolaan APBD. Berbagai tindakan korupsi, seperti penggelembungan anggaran, mark-up proyek, dan penggunaan dana yang tidak transparan, sering kali dilakukan oleh mereka yang berada dalam posisi kekuasaan. Praktek-praktek ini tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Akibatnya, banyak masyarakat yang merasa skeptis terhadap kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk pelayanan publik dan pembangunan infrastruktur.
Pengawasan dan keterlibatan masyarakat menjadi aspek penting dalam meminimalisir korupsi anggaran yang terjadi. Namun, di daerah-daerah yang dikuasai oleh dinasti politik, partisipasi publik sering kali terbatas, dan kritik terhadap pemimpin daerah dapat terhambat. Keluarga-keluarga politik ini cenderung menciptakan sistem kekuasaan yang tertutup, sehingga masyarakat tidak memiliki akses yang memadai untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi penggunaan APBD.
Lebih jauh lagi, fenomena dinasti politik di Indonesia telah menciptakan semacam "ring" di mana anggota keluarga dan relasi dekat saling mengisi posisi strategis dalam pemerintahan daerah. Situasi ini semakin memperburuk transparansi dan akuntabilitas, karena keputusan mengenai APBD cenderung diambil berdasarkan hubungan personal ketimbang kepentingan publik. Akibatnya, uang rakyat tidak digunakan secara maksimal untuk kepentingan masyarakat, melainkan justru jatuh ke dalam genggaman pihak-pihak tertentu yang hanya mementingkan kepentingan pribadi.