"Negara, pemerintah, penegak hukum jangan sedikit-sedikit mudah mengkriminalkan, memanggil, seolah-olah (ceramah) itu dianggap kejahatan. Saya yakin masih bisa tidak seperti itu, masih bisa menjalin hubungan baik," kata Susilo Bambang Yudhoyono saat memberikan dalam sambutannya pada peringatan 50 tahun Pondok Pesantren Daar El-Qolam di Pasir Gintung, Jayanti, Tangerang, pada 20 Januari 2018 (Sumber: Detik.com).
Pernyataan itu disampaikan SBY yang mengaku kerap mendengar dugaan kriminalisasi terhadap ulama. Dari sisi waktu, pernyataan SBY ini menjadi lebih menarik mengingat hanya berselisih beberapa hari setelah penetapan Zulkifli Muhammad Ali sebagai tersangka terkait kasus dugaan SARA.
Tetapi, seperti yang sudah diduga sebelumnya, atas pernyataannya yang dianggap sebagai pembelaan terhadap ulama tersebut, SBY menjadi sasaran bebulian sejumlah netizen.
SBY pun dituding baper, ngiri kepada keberhasilan pemerintahan Jokowi, bahkan ada juga yang menuduh SBY pun melakukan kriminalisasi terhadap ulama.
Pertanyaannya, benarkah kriminalisasi terhadap ulama itu ada?
Tidak ada asap kalau tidak ada api. SBY dan sejumlah pihak lainnya tidak mungkin mengatakannya, jika kriminalisasi terhadap ulama yang dirasakannya tersebut tidak terjadi.
Dalam dugaan kriminalisasi terhadap Zulkifli, Polri menetapkan Zulkifli sebagai tersangka dengan tuduhan ujaran kebencian bermuatan SARA .
Zulkifli mengatakan Indonesia akan diserang oleh Cina dan kaum komunis. Katanya, Indonesia akan mengalami kekacauan akibat perang yang disebabkan revolusi Cina dan kaum komunis. Zulkifli juga menyebut mereka tengah membuat kartu tanda penduduk Indonesia palsu di Paris dan Cina.
Sebagaimana yang dikutip oleh oleh Tempo.co, Zulkifli mengatakan, “Indonesia akan mengalami kekacauan akibat perang yang disebabkan revolusi Cina dan kaum komunis.”
Siapakah Cina yang dimaksud oleh Zulkifli? Etnis Tionghoa atau bangsa Tiongkok?
Jika yang dimaksud Zulkifli adalah bangsa Tiongkok, maka tuduhan ujaran kebencian bermuatan SARA tidak bisa dialamatkan kepada Zulkifli.
Sebaliknya, jika Cina yang dimaksud adalah etnis Tionghoa, barulah Zulkifli bisa dijerat dengan pasal “SARA”, sebab etnis Tionghoa adalah bagian dari bangsa Indonesia.
Pertanyaannya, bagaimana dengan tudingan adanya aktivitas arabisasi? Apakah tudingan ini juga termasuk ujaran kebencian berkonten SARA mengingat Arab merupakan salah satu etnis yang juga mendiami tanah bumi pertiwi ini. (perlu dicatat, arabisasi bukanlah Islamisasi)
Untuk jumlah e KTP, pernyataan Zulkifli yang mengatakan ada ratusan juta KTP memang sulit untuk dipercaya. Bahkan, jika mengacu pada jumlah yang ratusan juta tersebut, pernyataan Zulkifli bisa dikatakan sebagai hoax.
Kasus “impor” KTP palsu sempat mencuat jelang hari pencoblosan Pilgub DKI Jakarta 2017. Ketika itu sejumlah KTP palsu didatangkan dari Kamboja,
Menariknya, data yang terdapat dalam KTP (KTP elektronik) palsu yang didatangkan dari Kamboja tersebut sesuai dengan data yang tersimpan dalam server Dukcapil. Karenanya, KTP tersebut tidak tepat jika disebut sebagai KTP palsu, lebih tepatnya dikatakan sebagai KTP ganda. Dan, entah kenapa, sampai detik ini tidak ada investigasi untuk mengungkap penggandaan e-KTP.
Dalam persoalan yang terkait dengan Tiongkok yang belakangan ini semakin agresif, seharusnya pemerintah Jokowi dan aparat keamanannyalah yang seharusnya jauh lebih tanggap dan mewaspadai segala bentuk ancaman yang mengincar negeri ini.