Meskipun elektabilitasnya tinggi, perjalanan Anies menuju pencalonan tidak mudah. Koalisi Indonesia Maju (KIM), yang mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran, kini gencar melakukan lobi untuk menarik dukungan dari partai-partai yang semula mendukung Anies, seperti PKB dan NasDem.
Dukungan dari PKB dan NasDem, yang awalnya solid, kini mulai goyah. Isu-isu terkait tawaran jabatan menteri dalam kabinet Prabowo-Gibran disinyalir menjadi faktor pendorong yang kuat. Pengamat politik dari UIN Jakarta, Zaki Mubarak, mengamati bahwa PKB sangat rentan terhadap kehilangan menterinya di kabinet jika memilih untuk tetap mendukung Anies.
Ditambah lagi, adanya konflik internal dengan sejumlah politisi Nahdlatul Ulama (NU) menambah beban politik PKB. Situasi ini membuka opsi bagi PKB untuk mencari calon lain yang lebih menguntungkan secara politik.
Adi Prayitno, pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah, menyatakan bahwa sinyal-sinyal dari NasDem dan PKB menunjukkan kemungkinan batalnya dukungan terhadap Anies. Tawaran yang diberikan oleh KIM dianggap lebih menggiurkan, seperti peluang mendapatkan kursi menteri yang lebih pasti dan berjangka panjang. Menurut Adi, hal ini tentunya terlihat lebih menguntungkan dibandingkan mengusung Anies yang belum tentu memberikan keuntungan elektoral signifikan bagi NasDem dan PKB.
Pernyataan Wakil Ketua Umum PKB, Jazilul Fawaid, menegaskan adanya peluang partainya batal mendukung Anies jika PKB memutuskan untuk bergabung dengan KIM. Hal serupa disampaikan oleh Bendahara Umum Partai NasDem, Ahmad Sahroni, yang menekankan bahwa politik sangat dinamis dan keputusan final bisa berubah hingga pendaftaran calon di Komisi Pemilihan Umum (KPU).