Apalagi, pada 27 April 2016, media memberitakan tentang lima orang berbaju militer China bersama dua orang WNI yang tertangkap Tim Patroli TNI Angkatan Udara Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, saat tengah ngebor di area Halim Perdanakusuma tanpa izin.
Ditambah lagi dengan maraknya penangkapan terhadap sejumlah TKA ilegal asal China. Menariknya, salah seorang di antaranya kedapatan membawa benih dan tanaman cabai, bawang daun, dan sawi hijau yang bibit dan tanaman itu membawa bakteri yang belum pernah ada di Indonesia.
Pertanyaannya, apakah menceramahkan atau menyampaikan tentang kewaspadaan terhadap ancaman dari bangsa lain, dalam hal ini bangsa Tiongkok, bisa dikatagorikan tindakan yang dianggap menyebarkan ujaran kebencian atas dasar SARA?
Dugaan kriminalisasi terhadap ulama di bawah pemerintahan Jokowi sebagaimana yang dirasakan sekarang ini pastinya berbeda jauh dengan vonis 1,5 tahun penjara kepada Habib Rizieq Shihab (HRS) di masa pemerintahan SBY pada tahun 2008.
Ketika itu, HRS terbukti secara sah menganjurkan untuk melakukan kekerasan terhadap orang atau barang di muka umum secara bersama-sama. Karena ini, HRS divonis dengan Pasal 170 ayat 1 jo pasal 55 KUHP.
Tetapi, saat ini HRS dituduh melakukan tindak pidana terkait dengan chat mesumnya bersama Firza Husein. Sekalipun, dari bukti-bukti awal yang sudah dibeberkan oleh Polri terdapat sejumlah kejanggalan, tetapi kasus ini tetap dilanjutkan dengan berbagai dramanya.
Demikian juga kepada Bachtiar Nasir (BN). Polri, menurut Kapolri Jenderal Tito Karnavian telah menemukan bukti transfer dana sebesar Rp 1 miliar dari BN ke Turki. Hal ini terkait dengan kasus penyelewengan dana Yayasan Keadilan untuk Semua.
Tito pun menambahkan, ada media internasional yang menyebutkan bahwa tersebut diberikan kepada satu kelompok di Suriah. Lantas, berdasarkan media internasional tersebut, kelompok tersebut memiliki hubungan dengan ISIS..
Kepolisian menyelidiki dugaan bantuan logistik dari Yayasan Bantuan Kemanusiaan Indonesia (Indonesian Humanitarian Relief/IHR Foundation) tersimpan di gudang milik pemberontak Suriah.
Di pengujung tahun 2016, tersebar video yang memperlihatkan warga sipil Aleppo menemukan gudang logistik berupa makanan dan minuman yang dikirim dari Indonesia dan ditinggalkan oleh kelompok teroris Jays Al-Islam.
Sebagai perbandingan, jika bantuan kemanusiaan ke Suriah yang jatuh ke tangan kelompok teroris, maka pemerintah Inggris pun bisa dianggap sebagai pendukung teroris.
Pada awal Desember 2017, investigasi BBC mengungkap dana bantuan dari Inggris senilai 4 juta poundsterling yang dikirimkan ke kawasan yang dikuasai pemberontak Suriah telah dibelokkan, sehingga kelompok ekstrem juga menerimanya.
Dibelokkannya dana bantuan dari Inggris seperti yang dilaporklan BBC bukanlah peristiwa pertama yang diungkap oleh media. Sebelumnya, pada 8 Mei 2016, Dailymail.co, memberitakan tentang 13 juta poundsterling bantuan dari Inggris yang jatuh ke tangan teroris ISIS di Suriah. Mengejutkannya lagi, bantuan jutaan poundsterling tersebut seharusnya dikirimkan untuk membantu pengungsi asal Palestina.
Situasi di Suriah di mana satu daerah bisa gonta-ganti penguasa dalam tempo yang relatif singkat memang menyebabkan banyaknya bantuan yang jatuh kepada pihak lain. Bukan hanya bantuan kemanusiaan, pasokan persenjataan pun banyak yang jatuh ke tangan lawan.