Ada banyak hal yang lebih gampang diucapkan daripada kalimat sederhana: “Aku sayang kamu.” Aneh, ya? Padahal itu cuma tiga kata. Tapi kalau ditujukan ke seorang teman, rasanya bisa bikin lidah kaku, jantung deg-degan, dan pikiran langsung overthinking.
Padahal, teman adalah orang yang selalu ada. Yang dengerin curhat jam 2 pagi, yang tahu cara nenangin di tengah kekacauan, yang ngerti isi kepala tanpa harus dijelasin panjang lebar. Tapi tetap aja, waktu mau ngomong “aku sayang kamu”, mulut rasanya terkunci. Padahal hati pengin banget bilang.
Salah satu alasannya mungkin karena banyak yang terbiasa mengaitkan “sayang” hanya dengan hubungan romantis. Seakan-akan rasa sayang yang tulus cuma pantas diucapkan ke pacar, gebetan, atau orang yang punya label “hubungan” dengan kita. Padahal, perasaan sayang yang paling murni justru sering hadir dalam pertemanan yang gak ribet, gak mengikat, tapi selalu ada.
Ada juga rasa takut dianggap aneh. Gimana kalau setelah bilang “aku sayang kamu”, responnya cuma, “haha, lebay amat.” Atau malah diceng-cengin seolah-olah lagi confess cinta. Dan karena takut nggak dipahami, banyak orang akhirnya memilih diam. Menyimpan rasa hangat itu dalam hati, berharap temannya bisa ngerti sendiri tanpa perlu diucap.
Tapi bukankah manusia gak bisa selalu menebak isi hati satu sama lain? Kadang, kalimat kecil seperti “aku sayang kamu” bisa jadi penyelamat. Bisa bikin seseorang merasa cukup, merasa dihargai, merasa dicintai di dunia yang sering kali terasa dingin. Mungkin teman itu lagi lelah, lagi ngerasa gak berguna, lagi butuh diyakinkan bahwa dirinya berharga—dan kata-kata sederhana itu bisa jadi pelukan tak terlihat yang bikin dia bertahan.