Kalau pendidikan anti-kekerasan masuk kurikulum, artinya materi ini akan diajarkan secara terstruktur, bukan sekadar selipan atau insidental. Siswa akan diajari tentang apa itu kekerasan dalam berbagai bentuknya, mulai dari ejekan verbal, bullying fisik, hingga cyberbullying. Mereka juga akan diajari bagaimana mengenali tanda-tanda kekerasan, baik sebagai korban, pelaku, maupun saksi. Lebih dari itu, pendidikan ini juga akan menanamkan nilai empati. Anak-anak akan diajak memahami perasaan orang lain, merasakan apa yang dirasakan korban, sehingga muncul kepedulian. Ini penting banget, karena seringkali kekerasan terjadi karena pelaku tidak bisa merasakan penderitaan korbannya.
Selain empati, edukasi damai juga jadi inti dari pendidikan anti-kekerasan. Siswa akan diajari bagaimana cara menyelesaikan konflik atau perbedaan pendapat dengan cara yang damai, tanpa perlu adu jotos atau saling mencaci. Mereka akan belajar tentang komunikasi yang efektif, pentingnya mendengarkan, dan mencari solusi yang menguntungkan semua pihak. Ini bukan cuma teori di atas kertas, tapi keterampilan hidup yang sangat dibutuhkan di masyarakat. Bayangkan kalau dari kecil mereka sudah terbiasa menyelesaikan masalah dengan kepala dingin, bukan dengan otot. Pasti lingkungan kita akan jauh lebih tenang dan harmonis.
Memang, beberapa orang mungkin berpendapat bahwa materi seperti ini sudah terselip di pelajaran Agama atau Budi Pekerti. Tapi, dengan masuknya pendidikan anti-kekerasan ke dalam kurikulum secara eksplisit, artinya sekolah akan lebih serius dan punya alokasi waktu khusus untuk membahasnya. Ini bukan cuma tanggung jawab guru Agama atau BP saja, tapi tanggung jawab seluruh elemen sekolah. Guru-guru juga perlu dibekali pelatihan khusus agar bisa menyampaikan materi ini dengan baik dan menjadi teladan bagi siswa.