Pendidikan Anak Usia Dini: Investasi yang Terlupakan Kualitas manusia dewasa adalah cerminan dari pengalaman awal kehidupannya, perjalanan pengasuhan dan pendidikan yang dilaluinya sejak usia dini. Usia dini juga disebut sebagai masa paling penting dan genting dari seluruh siklus hidup, sehingga disebut sebagai periode emas, karena pesatnya perkembangan otak di periode ini. Di masa ini, aspek perasaan masih mendominasi dibandingkan kemampuan berpikir, orangtua atau pengasuh harus tanggap (responsif) atas seluruh ekspresi, komunikasi, dan perilaku bayi yang didasari oleh apa yang dirasakan.
Saat bersamaan bayi juga dapat distimulasi kemampuan berpikir rasionalnya berdasarkan perasaan yang muncul. Misal, saat bayi menangis karena hawa panas, orangtua dapat mengatakan “baju adik basah, karena panas sekali cuacanya, adik ganti baju dulu ya, supaya adik nyaman”. Pada usia 2-3 tahun hubungan dua arah antara perasaan dan kemampuan berpikir terus menguat dan ingatan emosional mulai berfungsi yang kemudian berkembang menjadi insting untuk merespons situasi-situasi serupa. Pada akhir usia dini (7-8 tahun), anak sudah dapat dikenalkan mengenai nilai dan moral melalui contoh perilaku dari orang dewasa di sekitar anak. Ketika sejak kecil anak dibiasakan mengembangkan hubungan timbal balik antara perasaan dan pikiran, idealnya setiap stimulus perasaan sudah ditanggapi dengan berpikir rasional.
Jika saat ini kita melihat banyak perilaku orang dewasa yang reaktif, bersumbu pendek, tidak berpikir panjang, kita perlu berefleksi terhadap kualitas pengasuhan dan pendidikan anak usia dini. Namun, justru pada masa emas inilah masih banyak tantangan menghadang. Hasil riset yang melibatkan ratusan ribu orangtua dari anak di layanan PAUD yang dilakukan penulis pada tahun 2021, menunjukkan bahwa kapasitas orangtua bernilai rendah dalam pemenuhan kebutuhan holistik anak melalui layanan yang terintegrasi, dengan capaian rata-rata hanya 53.6 (Herawati, N. et all 2021). Ini berarti rumah belum mampu dijadikan sebagai layanan PAUD Informal dengan orangtua sebagai pendidik berkualitas, dan sistem negara belum mendukungnya. Sementara itu, sebagai contoh Departemen Pendidikan Negara Bagian Florida Amerika telah merancang capaian perkembangan emosi anak sejak usia 0 bulan hingga usia prasekolah. Panduan tersebut merinci tahapan perkembangan sosial-emosional secara sistematis dan memberikan petunjuk yang sangat konkret tentang peran guru dan orangtua dalam mendampingi proses tersebut. Ini adalah contoh kebijakan pendidikan yang tidak hanya bersifat teknokratis, tetapi berakar pada pemahaman mendalam tentang ilmu perkembangan anak.
Setali tiga uang, guru PAUD dan PAUD masih dipandang sebelah mata sebagai pilar dalam pembangunan manusia. Dikutip dari Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini (2023) “Kapasitas Pendidik dalam Program Layanan PAUD HI ditinjau dari Pengalaman Mengajar dan Pengembangan Diri” karya Wa Ode Syamzahrah Astarin, Ali Formen, dan Diana, menyebutkan hasil pemetaan yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (2021) di 34 Provinsi, 425 Kabupaten/Kota dengan melibatkan 117.632 orang pendidik, menemukan bahwa rata-rata kapasitas pendidik dalam PAUD HI relatif masih rendah yakni 58.5 dan masih terdapat 29,6 persen pendidik yang belum pernah mengikuti atau berpartisipasi dalam pengembangan diri melalui diklat. Lebih menyedihkan lagi, profesi guru PAUD belum diakui secara formal dalam Undang-Undang Guru dan Dosen. Padahal tugas mereka bukan sekadar mendidik anak mengenal huruf, angka, dan warna, tetapi figur profesional yang dibekali dengan pengetahuan perkembangan anak, keterampilan untuk tanggap terhadap kebutuhan dasar anak, dan kemampuan membangun interaksi yang bermakna sejak anak masih bayi. Ini diperparah pemikiran lama yang salah. Sebagian besar orangtua masih menganggap PAUD sebagai tempat menitipkan anak, bukan sebagai ruang belajar yang esensial dalam membangun karakter.