percakapan sehari-hari atau film, istilah "psikopat" dan "sosiopat" sering kali dipakai bergantian untuk menggambarkan seseorang yang kejam, manipulatif, dan tidak punya hati nurani. Padahal, dalam ilmu psikologi dan psikiatri, kedua istilah ini punya makna dan karakteristik yang berbeda. Keduanya memang sama-sama bagian dari Gangguan Kepribadian Antisosial (Antisocial Personality Disorder - ASPD), tapi cara mereka mengekspresikan perilakunya, asal-usulnya, dan fungsi emosionalnya punya perbedaan mendasar yang signifikan. Memahami perbedaan ini penting untuk melihat gambaran yang lebih akurat, jauh dari stereotip yang sering ditampilkan di media.
Perbedaan Utama Berdasarkan Asal-Usul dan Sifat Bawaan
Salah satu perbedaan paling mendasar antara psikopat dan sosiopat terletak pada asal-usul kondisi mereka. Para ahli meyakini bahwa psikopati cenderung memiliki akar biologis atau genetik. Artinya, seseorang bisa saja lahir dengan kecenderungan menjadi psikopat karena struktur otak atau fungsi sarafnya berbeda. Penelitian menunjukkan bahwa area otak yang bertanggung jawab untuk mengelola emosi dan empati, seperti amigdala, mungkin tidak berfungsi seperti seharusnya pada seorang psikopat. Hal ini menjelaskan mengapa mereka seringkali tidak mampu merasakan emosi, terutama empati, ketakutan, atau penyesalan. Mereka bisa meniru emosi, tapi itu hanyalah akting yang mereka pelajari untuk memanipulasi orang lain.
Sebaliknya, sosiopati lebih sering dikaitkan dengan faktor lingkungan dan pengalaman hidup, terutama trauma masa kecil. Perilaku sosiopat bisa berkembang akibat pelecehan, penelantaran, atau trauma emosional yang parah di usia muda. Alih-alih tidak bisa merasakan emosi, seorang sosiopat justru bisa punya empati, meski terbatas. Mereka bisa membentuk ikatan emosional dengan orang-orang tertentu, meski ikatan ini biasanya dangkal. Karena asal-usulnya dari lingkungan, perilaku sosiopat bisa jadi merupakan respons adaptif untuk bertahan hidup dari lingkungan yang kejam atau tidak stabil.