Di era serba digital saat ini, harapan besar muncul agar teknologi dapat mendukung proses belajar mengajar di seluruh Indonesia. Namun kenyataannya, pemanfaatan teknologi dalam pendidikan di Tanah Air belum merata, khususnya di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Masih banyak siswa yang belum terbiasa menggunakan komputer dan perangkat digital lainnya, bahkan di zaman yang sudah sangat canggih sekalipun.
I Kadek Darsika Aryanta, seorang guru yang juga Binar Ambassador asal Buleleng, Bali, membagikan pengalamannya saat mengajar di SMA Negeri Bali Mandara, sebuah sekolah berasrama yang siswanya mayoritas berasal dari keluarga kurang mampu. Dari pengalamannya, Darsika mengungkapkan bahwa banyak siswa di sekolah tersebut yang belum pernah akrab dengan perangkat digital. Bahkan, ada yang kesulitan sekadar menggunakan mouse komputer.
Karena itu, sebelum masuk ke pembelajaran formal, sekolah tersebut menjalankan program matrikulasi selama tiga minggu. Dalam program ini, para siswa diajari keterampilan dasar seperti membuat email, menggunakan platform pembelajaran Google Classroom, hingga membuat presentasi. Langkah ini diambil agar siswa memiliki pondasi yang cukup dalam menggunakan teknologi sebelum materi pembelajaran yang lebih kompleks diberikan.
Pengalaman yang diungkapkan Darsika ini menjadi gambaran nyata kesenjangan digital yang masih ada di dunia pendidikan Indonesia, terutama di daerah-daerah yang belum banyak mendapat akses teknologi memadai.
Darsika juga menekankan pentingnya guru memahami konsep TPACK, yaitu Technological, Pedagogical, and Content Knowledge. Artinya, guru tidak hanya harus mahir menggunakan alat teknologi, tetapi juga harus mengerti materi pembelajaran dan cara terbaik menyampaikannya dengan teknologi yang tepat. Tidak semua konten pelajaran cocok jika hanya disampaikan lewat kuis online atau bantuan kecerdasan buatan (AI). Seorang guru harus mampu memilih teknologi yang paling efektif agar pembelajaran benar-benar berjalan dengan baik.