2. Budaya Prestasi yang Tertanam Kuat
Hipotesis kedua mengarah pada aspek budaya. Menurut Lynn dan Kanazawa, orang Yahudi menekankan etos kerja dan pencapaian akademik sejak dini. Kesuksesan bukan sekadar harapan orang tua; melainkan kewajiban yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Nilai-nilai ini diwujudkan melalui prioritas gizi sehat, waktu belajar, dan kebiasaan membaca. Mereka percaya bahwa literasi adalah jalan keluar dari kemiskinan dan ketidakberdayaan—sebuah strategi yang telah dipraktekkan klasik sejak era Kekhalifahan Abbasiyah (750–1258 M).
3. Trauma Sejarah Memacu Literasi
Riset oleh The Chosen Few: How Education Shaped Jewish History (2012) menunjukkan bahwa pengalaman tragis seperti penghancuran Bait Suci di Yerusalem memantik dorongan mendalam untuk meninggalkan buta huruf. Sebagai tanggapan, komunitas Yahudi menjauh dari sektor agraris dan lebih fokus pada pendidikan dan keterampilan intelektual.
Akibatnya, akses pendidikan menjadi prioritas komunitas, membuka jalur menuju pekerjaan bernilai tinggi dan posisi sosial yang prestisius.
4. Solidaritas Komunitas dan Peluang Usaha
Sejarawan Jerry Z. Muller dalam Project Syndicate menambahkan dua hal penting. Pengalaman diskriminasi membawa orang Yahudi untuk membangun network internal yang kuat, menciptakan komunitas yang saling membantu. Ini membuka peluang kolaborasi dalam usaha, penelitian, dan penciptaan lapangan kerja baru.