Mitos IPK Sebagai Penentu Segala Hal
Di balik kecemasan ini, ada sebuah pemahaman yang keliru dan mengakar: bahwa IPK tinggi adalah satu-satunya jaminan kesuksesan di masa depan. Meskipun IPK memang penting, terutama untuk melamar pekerjaan tertentu atau melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi, IPK bukanlah satu-satunya faktor penentu.
Banyak perusahaan, terutama perusahaan rintisan dan modern, mulai melihat lebih dari sekadar angka. Mereka mencari kandidat yang punya keterampilan non-akademik (soft skills) seperti kemampuan berkomunikasi, berpikir kritis, memecahkan masalah, dan bekerja sama dalam tim. Pengalaman organisasi, magang, dan portofolio proyek seringkali lebih dihargai daripada sekadar IPK sempurna.
Mahasiswa yang terlalu terobsesi dengan IPK kadang mengorbankan hal-hal ini. Mereka menghabiskan seluruh waktu untuk belajar di perpustakaan, mengabaikan kesempatan untuk ikut organisasi kemahasiswaan, menjadi sukarelawan, atau membangun jaringan profesional. Padahal, pengalaman-pengalaman di luar kelas inilah yang justru membentuk pribadi yang tangguh, adaptif, dan siap menghadapi tantangan dunia kerja.
Dampak Psikologis pada Kesehatan Mental
Obsesi terhadap IPK bisa berdampak serius pada kesehatan mental mahasiswa. Tekanan terus-menerus untuk mendapatkan nilai sempurna bisa memicu stres, kecemasan, bahkan depresi. Mahasiswa yang terlalu fokus pada IPK bisa mengalami sindrom impostor, di mana mereka merasa tidak pantas mendapatkan keberhasilan mereka, atau sebaliknya, mereka merasa takut gagal setiap saat.