Kejaksaan Agung (Kejagung) baru-baru ini mengungkap kasus pengadaan digitalisasi pendidikan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang berlangsung dari tahun 2019 hingga 2023. Kasus ini melibatkan anggaran besar yang mencapai Rp9,9 triliun dan diduga melibatkan persekongkolan atau pemufakatan jahat dari berbagai pihak. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menjelaskan bahwa dalam perkara ini, terdapat indikasi kuat akan adanya kerugian negara akibat praktik korupsi yang terjadi.
Pengadaan proyek digitalisasi pendidikan ini seharusnya menjadi langkah maju untuk memodernisasi sistem pendidikan di Indonesia, terutama dalam era digital yang semakin berkembang. Namun, kenyataannya, hasil dari pengadaan ini tidak sesuai dengan harapan. Pada tahun 2019, penggunaan laptop yang berbasis pada sistem operasi Chromebook telah diuji coba, dan hasilnya menunjukkan bahwa produk tersebut tidak efektif untuk digunakan dalam kegiatan belajar mengajar. Meskipun demikian, pengadaan tetap dilanjutkan, yang menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai integritas dan akuntabilitas pengambil keputusan di Kemendikbud.
Dalam pengungkapan kasus ini, Kejagung juga menyoroti bahwa ada dugaan kolusi antara berbagai pihak, termasuk pejabat di Kemendikbud dan pihak-pihak penyedia. Hal ini mengindikasikan bahwa ada praktik yang tidak transparan di dalam proses pengadaan, yang seharusnya dilakukan dengan prosedur yang tertib dan akuntabel. Korupsi dalam pengadaan barang dan jasa adalah salah satu masalah terbesar yang dihadapi pemerintahan di banyak negara, termasuk Indonesia. Ketika anggaran besar seperti Rp9,9 triliun digunakan dengan cara yang tidak tepat, dampaknya bukan hanya pada sektor pendidikan, tetapi juga pada peningkatan kualitas sumber daya manusia di masa depan.