Kita hari ini adalah akumulasi dari guru-guru yang kita temui sebelum-sebelumnya ataupun saat ini. Jika Ki Hadjar Dewantara berkata bahwa kita harus menjadikan setiap ruang adalah sekolah dan setiap orang adalah guru, maka berapa banyak guru yang sudah kita temui dalam kehidupan kita ? ah, nyatanya konteks itu terlalu luas. Mari kita lebih mendalam, guru dalam konteks pendidikan. Baik formal, non-formal, maupun informal. Berdasarkan UU Sisdiknas No.20 tahun 2003, dan UU Guru dan Dosen No. 14 tahun 2005, yang memberikan penjelasan tentang guru dengan beragama namanya.
Dalam pendidikan informal, kita namakan guru itu adalah Ayah, Ibu, dan juga bagian dari keluarga kita. Madrasah pertama, yang memberikan pendidikan tentang bagaimana seharusnya kita hidup. Kemudian untuk pendidikan formal, sudah tak asing lagi kita temui seorang pendidik yang dinamakan guru. Guru dalam berbagai bidangnya yang memberikan kita asupan pengetahuan dan juga bagaimana kita mampu merespon kejadian-kejadian yang ada. Terakhir, dalam pendidikan non-formal sering kita temui tutor, pembimbing, kaka asuh, dan nama-nama lain yang sesuai dengan konteksnya. Begitu besar peran guru dalam setiap segmentasi pendidikan, sehingga amat disayangkan jika Negeri ini mengacuhkan dan tidak mengedepankan nasib guru-guru kita.
Mereka yang sedang berjuang untuk membangun bahtera pendidikan Indonesia, kita tak boleh pula melupakan bagaimana kesejahteraan dan peningkatan kualitasnya. Mirisnya hari ini adalah masih ada guru honorer yang memiliki beban mendidik (dalam pandangan saya, jika dikatakan beban mengajar, terlalu sempit), dengan beban yang cukup besar namun tidak setara dengan kesejahteraannya. Satu bulan hanya mendapatkan tiga ratus ribu rupiah. Bayangkan saja, di zaman yang harga bahan pokok sudah tidak murah lagi, seorang guru berpenghasilan dibawah standar, harus menghidupi keluarganya, alangkah sedihnya jika terus-terusan diperlakukan demikian. Padahal tugas mereka sangatlah mulia. Mendidik dengan hati, meninggalkan segala kebencian ketika mendidik dikala anak-anak yang dididiknya menjengkelkan, tapi Ia tetap bertahan.
Marak media masa mengabarkan bahwa berbagai kasus kriminal, pelecehan seksual, dan peristiwa lainnya yang menyayat hati kita semua, terutama bagi insan yang cinta akan pendidikan. Lantas, dimana nilai kehormatan seorang guru, jika yang diberitakan adalah keburukan-keburukan guru yang kemudian kita ketahui belum tentu kebenaran dari kasusnya. Keberpihakan media masa terhadap pendidikan saya katakan sangatlah rendah. Setiap saya melihat televisi, seringkali yang ditampilkannya adalah kasus-kasus kejahatan. Pantas saja, negeri kita makin bobrok, tau sendiri lah.
Seiringan dengan itu, bagaimanakah pemerintah memprioritaskan pendidikan ? khususnya seorang guru. Kita tahu bahwa sistem rekrutmen guru dalam konteks pendidikan formal hari ini sangatlah rumit. Untuk menjadi guru professional saja, harus melalui beberapa tahapan. Masuk dalam LPTK, kemudian lulus dan harus menempuh SM3-T, setelah setahun ditempa kemudian masuk dalam Pendidikan Profesi Guru (PPG), barulah dikatakan guru professional, atau nama kerennya dari pemerintah adalah GGD (Guru Garda Depan). Keren memang, tapi sayangnya hal itu belum banyak diketahui banyak orang, terutama calon pendidik. Belum lagi UKG yang dinilai sebatas formalitas oleh banyak guru dan kemudian konten dari UKG lebih cenderung kepada pemenuhan aspek kognitif guru. Ah, lagi-lagi, Negeri Kognitif. Wacana demi wacana dikeluarkan pemerintah. Mulai dari janji, akan menjadikan guru sebagai garda terdepan dalam pendidikan maka sangat ditunggu realisasinya. Berjanji akan menyetarakan gaji guru honorer dengan guru PNS. Janji, dan janji. Ah amatlah manis.