Pulau Jawa, yang dikenal dengan iklim tropisnya yang hangat dan lembap sepanjang tahun, terkadang mengalami periode suhu dingin yang cukup mencolok, terutama selama musim kemarau. Fenomena ini, yang kerap mengejutkan penduduk lokal dan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan, bukan anomali, melainkan bagian dari dinamika iklim regional yang dipengaruhi oleh beberapa faktor geografis dan meteorologis. Dinginnya udara di pagi hari, embun beku di dataran tinggi, dan selimut kabut tebal menjadi pemandangan khas yang mengubah wajah tropis Jawa menjadi lebih sejuk.
Peran Angin Muson Timur dan Musim Kemarau
Penurunan suhu di Jawa selama periode tertentu terutama disebabkan oleh angin muson timur (angin pasat tenggara) yang bertiup dari Benua Australia. Pada musim kemarau (sekitar Juni hingga September), Australia sedang mengalami musim dingin. Massa udara dingin dan kering dari sana kemudian bergerak menuju Asia, termasuk melewati wilayah Indonesia bagian selatan, khususnya Pulau Jawa. Karena udara ini membawa sedikit uap air, atmosfer menjadi lebih kering dan awan cenderung jarang terbentuk.
Kondisi langit yang cerah tanpa tutupan awan memicu proses radiasi balik Bumi yang efektif. Pada siang hari, panas matahari diserap oleh permukaan Bumi. Namun, saat malam tiba, tanpa adanya lapisan awan yang berfungsi sebagai "selimut" untuk memerangkap panas, energi panas yang diserap Bumi akan terpancar kembali ke atmosfer secara cepat. Akibatnya, suhu permukaan Bumi, terutama di daratan, menurun drastis. Inilah mekanisme utama di balik malam-malam yang dingin dan pagi hari yang menusuk tulang di Jawa selama musim kemarau.