Jakarta, Tampang.com – Mahkamah Konstitusi (MK) telah meniup peluit peringatan keras terhadap bahaya demokrasi lokal dengan putusan progresifnya dalam sidang sengketa pemilihan kepala daerah Barito Utara, Kalimantan Tengah, tahun 2024. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, MK mendiskualifikasi kedua pasang calon kepala daerah karena terbukti secara meyakinkan menggunakan kekuatan uang untuk membeli suara. Kedua pasangan calon yang didiskualifikasi adalah Gogo Purman Jaya-Hendro Nakalelo yang diusung lima partai (PKB, PAN, PKS, PPP, Hanura) dan Ahmad Gunaldi Nadalsah-Sastra Jaya yang diusung PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, Demokrat.
"Praktik pembelian suara yang melibatkan kedua pasangan calon pada pemungutan ulang pemilihan kepala daerah Kabupaten Barito Utara diyakini kebenarannya," demikian pertimbangan MK. Berdasarkan rangkaian bukti dan fakta hukum persidangan, MK menemukan fakta adanya pembelian suara pemilih untuk memenangkan pasangan nomor urut 2 dengan nilai fantastis, mencapai Rp 16 juta untuk satu pemilih. Saksi Santi Parida Dewi bahkan menerangkan telah menerima total uang Rp 64 juta untuk satu keluarga. Di sisi lain, ditemukan pula kesaksian soal pembelian suara pemilih untuk memenangkan paslon nomor urut 1, dengan nilai Rp 6,5 juta untuk satu pemilih disertai janji umrah apabila menang, seperti kesaksian Edy Rakhman yang total menerima Rp 19.500.000 untuk satu keluarga.
Putusan MK yang bulat ini menandai sebuah langkah progresif. Akibatnya, Barito Utara, daerah kaya tambang batu bara, kini tidak memiliki pemimpin dengan legitimasi penuh. Komisi Pemilihan Umum (KPU) diperintahkan untuk menggelar Pilkada ulang dalam waktu 90 hari dengan pasangan calon baru. Tidak ada pemenang, yang tersisa hanya jejak demokrasi yang tercoreng oleh amplop dan transaksi.
Putusan MK ini adalah peluit keras yang meniupkan tanda bahaya: demokrasi lokal Indonesia sedang sakit, dan penyakitnya bernama politik uang yang dilegalkan secara sosial dan dibiarkan secara kelembagaan. MK telah memainkan peran konstitusionalnya untuk menjaga konstitusi, menjaga demokrasi, dan menjaga ideologi negara. Meskipun pernah terjerumus dalam "pembunuhan" demokrasi seperti kasus utak-atik syarat umur calon wapres dalam Pemilu 2024 yang sempat menurunkan kepercayaan publik, MK kini bangkit kembali. Dalam kasus Barito Utara, MK melampaui kebiasaannya, menjadi penjaga etika terakhir demokrasi, saat semua instrumen di bawahnya—dari partai politik, pengawas pemilu, hingga masyarakat sipil—gagal berfungsi.