Dalam pertimbangan putusannya, MK memaparkan bahwa praktik politik uang di Barito Utara terjadi secara sistemik, terstruktur, dan meluas. Nominal uang untuk satu suara yang mencapai Rp 6,5 juta hingga Rp 19,5 juta adalah angka yang mencengangkan dan melampaui harga suara di banyak daerah lain. Mahkamah menyebut bahwa demokrasi yang dijalankan dengan cara seperti itu bukanlah demokrasi, melainkan lelang jabatan publik.
Fenomena ini bukanlah hal baru. Dalam banyak literatur, termasuk karya Edward Aspinall dan Ward Berenschot (Democracy for Sale, 2019), politik uang dijelaskan sebagai bentuk dari demokrasi elektoral-klientelistik. Kekuasaan diperoleh bukan melalui ide, melainkan pertukaran uang dan janji proyek. Pemilih dilihat bukan sebagai warga negara, tetapi sebagai target distribusi material. Demokrasi elektoral di Indonesia tidak didominasi oleh ideologi atau kompetisi kebijakan, tetapi oleh praktik klientelisme dan patronase yang sangat sistemik—di mana suara rakyat ditukar dengan uang, jabatan, proyek, atau bantuan sosial, dan seluruh arsitektur Pemilu dipengaruhi oleh kemampuan kandidat untuk "membeli" dukungan melalui jaringan informal.
Situasi semacam ini adalah ladang subur bagi tumbuhnya tokoh politik lokal yang menggunakan kekayaan, jaringan, dan intimidasi untuk mempertahankan dominasi kekuasaan di tingkat daerah. Dalam konteks seperti ini, pemilu hanyalah formalitas legal untuk mengukuhkan siapa yang paling banyak mengeluarkan uang, bukan siapa yang paling layak memimpin.
Barito Utara: Kekayaan Alam, Politik Mahal Mengapa praktik politik uang bisa begitu ekstrem di Barito Utara? Sebab, kekuasaan di sana bukan hanya jabatan, tapi jalan menuju rente. Barito Utara adalah wilayah yang kaya batu bara, menjadi bagian dari jalur energi penting di Kalimantan Tengah. Perizinan tambang, kontrak pembangunan, distribusi dana bagi hasil, dan proyek APBD adalah insentif besar bagi siapa pun yang ingin berkuasa. Dengan penduduk sekitar 159.000 jiwa dan jumlah pemilih 114.980, lanskap ini menjadikan politik uang bukan kelainan, tapi mekanisme investasi kekuasaan. Calon kepala daerah mengeluarkan uang miliaran rupiah karena tahu ada potensi imbal hasil ekonomi yang jauh lebih besar. Demokrasi pun berubah menjadi pasar kuasa, di mana rakyat menjadi "konsumen politik" yang dibayar untuk diam dan memilih.
Yang lebih memprihatinkan, lembaga yang seharusnya menjadi benteng pertahanan demokrasi justru runtuh sebelum bertempur. Bawaslu gagal mendeteksi dan mencegah politik uang, bahkan ketika nilainya mencapai puluhan juta rupiah per pemilih. Partai politik mengusung calon tanpa memperhatikan rekam jejak atau integritas, asal bisa membayar "mahar politik". Masyarakat sipil lokal nyaris tak terdengar, dan media tidak menjadi penjaga moral publik. Dalam situasi semacam ini, Mahkamah Konstitusi berdiri sendirian di atas reruntuhan demokrasi prosedural, meniup peluit peringatan bahwa kita sudah jauh melenceng dari cita-cita pemilu sebagai instrumen kedaulatan rakyat.