Rencana pemerintah Indonesia untuk menyesuaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan tarif yang berlaku di Singapura, yakni sebesar 9 persen, sedang menjadi perbincangan hangat di kalangan ekonom dan pelaku usaha. Wacana penurunan tarif PPN ini diungkapkan oleh Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo. Saat ini, tarif PPN yang berlaku di dalam negeri adalah 11 persen untuk barang nonmewah dan 12 persen untuk barang mewah.
Ekonom yang berasal dari Universitas Gadjah Mada, Eddy Junarsin, memberi perhatian khusus mengenai ini. Ia menekankan pentingnya adanya konsistensi dalam kebijakan perpajakan agar tidak menciptakan ketidakpastian di kalangan pelaku usaha. Menurut Eddy, perubahan tarif pajak yang terlalu cepat dapat menyebabkan kebingungan yang dapat berujung pada dampak negatif terhadap dunia usaha. “Efek dari penurunan PPN ini seharusnya diteliti secara ilmiah,” ungkapnya saat berbincang dengan kumparan, mengingat penyesuaian tarif ini baru saja terjadi.
Eddy juga menyarankan agar pemerintah memperbaiki struktur tarif Pajak Penghasilan (PPh) untuk individu, serta memberikan insentif pajak kepada perusahaan yang mampu menyerap banyak tenaga kerja, sebagai alternatif untuk memperkuat penerimaan pajak. Sebagai contoh, ia mengusulkan agar pemerintah memberikan tarif PPh korporasi sebesar 22 persen secara umum, dan menurunkannya menjadi 17 persen bagi korporasi yang mempekerjakan lebih dari 2.000 orang.