Edi menambahkan bahwa jika Rudy merasa diperlakukan tidak adil, seharusnya ia melakukan banding atas putusan Komisi Kepolisian Etik Polda NTT yang telah menetapkan pemecatan. “Kinerja Rudy mungkin selama ini banyak berantas BBM ilegal. Namun, semua harus mengikuti prosedur yang ada. Apakah SOP sudah dilakukan dengan benar oleh Polda NTT? Polisi tidak boleh salah dalam melaksanakan tindakan hukum,” tegasnya.
Sementara itu, anggota Kompolnas Yusuf Warsyim menyarankan agar sesuai mekanisme, Rudy harus diberi kesempatan untuk melakukan proses banding atas Putusan Komisi Kepolisian Etik Polda NTT. Pihak Polda juga harus merespons secara terbuka untuk menerima banding. “Kompolnas akan memantau proses banding nantinya. Tentu proses sidang banding tetap harus profesional, transparan, dan akuntabel. Terkait materi dugaan pelanggaran, akan diperiksa kembali apabila dilakukan banding,” ujar Yusuf.
Diketahui, Polda Nusa Tenggara Timur membantah bahwa pemberhentian Ipda Rudy Soik hanya disebabkan pelanggaran kode etik saat menyelidiki kasus mafia bahan bakar minyak (BBM). Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Humas) Polda NTT, Komisaris Besar Ariasandy, menyatakan bahwa Rudy terlibat dalam 12 kasus pelanggaran selama bertugas, dengan tujuh di antaranya terbukti bersalah.
Ipda Rudy Soik melalui kuasa hukumnya, Ferdy Maktaen, melaporkan Kabid Humas Polda NTT Kombes Ariasandy dan Kabid Propam Polda NTT, Kombes Robert Anthoni Sormin, ke Divisi Propam Mabes Polri. Ferdy membantah pernyataan yang disampaikan oleh Polda NTT terkait 12 laporan polisi (LP) yang menjerat Rudy Soik sehingga divonis pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Padahal, pada 13 November 2014 hingga Maret 2015, Rudy Soik sedang ditahan di rumah tahanan atas tuduhan penganiayaan saat membongkar mafia perdagangan orang yang melibatkan Polda NTT.