Di setiap budaya, ada gagasan tentang apa yang dianggap "cantik." Namun, di Indonesia, standar kecantikan seringkali terasa sangat sempit dan menekan, didominasi oleh citra kulit putih, tubuh langsing, dan hidung mancung. Fenomena ini bukan sekadar preferensi estetika; ini adalah konstruksi sosial yang dalam, dipicu oleh berbagai faktor historis, media, dan komersial, yang pada akhirnya menjerat banyak individu dalam lingkaran rasa tidak percaya diri dan tekanan yang tak berujung.
Akar Sejarah dan Pengaruh Kolonial
Ideal kecantikan kulit putih di Indonesia bukanlah hal baru. Akarnya dapat ditelusuri kembali ke era kolonialisme, di mana kulit putih diasosiasikan dengan status sosial, kekuasaan, dan kelas atas. Warisan pemikiran ini, meskipun telah lama berlalu secara politis, masih membekas dalam alam bawah sadar kolektif masyarakat. Kulit cerah seringkali dikaitkan dengan kemurnian, kebersihan, dan daya tarik, sementara warna kulit sawo matang atau gelap yang merupakan ciri khas mayoritas penduduk justru seringkali dianggap kurang menarik atau bahkan terbelakang.
Seiring berjalannya waktu, narasi ini diperkuat oleh citra yang dipromosikan melalui media massa dan iklan, yang secara konsisten menampilkan model-model dengan ciri-ciri tersebut. Ini menciptakan sebuah standar tunggal yang secara tidak langsung merendahkan keberagaman genetik penduduk asli Indonesia.
Peran Dominan Media dan Industri Kecantikan
Media massa, dari televisi hingga majalah dan kini media sosial, memainkan peran raksasa dalam melanggengkan standar kecantikan ini. Iklan produk pemutih kulit, suplemen pelangsing, dan operasi plastik membanjiri ruang publik, menjanjikan transformasi menuju ideal yang diidam-idamkan. Konten digital yang menampilkan filter kecantikan, retouching foto, dan influencer dengan penampilan "sempurna" semakin memperkuat citra tersebut.