Sukarno –yang begitu menghargai ilmu, lebih dahulu dipenuhi oleh ajaran Karl Marx, “nabi” -nya orang-orang Sosialis-komunis. Dia bangga menguasai Marxisme sehingga berani menawarkan barter dengan pengajaran”ilmu-ilmu” Islam. Boleh jadi, sebagai muslim yang belum “terisi” dengan hakikat islam, Soekarno memandang Islam sebagai sebuah cabang Ilmu yang setara degan Marxisme. Ya, hanya sebuah ilmu dalam tumpukan ilmu-ilmu sosial dan budaya. Maka, Soekarno --yang rajin bertanya soal-soal Islam kepada Gaffar dan Hasan Bandung, pun tetap sebagai seorang nasionalis sekuler, memimpin Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Pemikirannya tentang keislaman dan sosial kemasyarakatan tidak lepas dalam perspektif (ilmu-ilmu) sekuler itu, sehingga tulisan-tulisannya sering mengundang tanggapan kritis dari Mohammad Natsir --tokoh Partai Islam Masyumi. Begitu pun dalam langkah selanjutnya, ketika menjadi Presiden RI, Soekarno menggabungkan ideologi nasionalisme, agama dan komunisme yang dikenal dengan Nasakom. Masyumi menolak ideologi gabungan itu sehingga Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno atas desakan PKI. Itulah Soekarno.
Bagaimana dengan ayah sang Penyair Taufiq Ismail ? Meski pun A. Gaffar Ismail di -coach langsung oleh mentor besar Marxisme, Soekarno, tetapi Gaffar tidak lantas jadi Komunis. Ikut Soekarno di Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pun tidak. Ia justeru aktif di Partai Islam Masyumi yang anti Komunis. Itu karena sikap dan pandangan hidupnya telah dibentuk oleh Islam terlebih dahulu. Putra Minang ini tamatan Sumatera Thawalib Parabek dan pernah nyantri di Padang Panjang.
Dus, sikap dan pandangan hidup seseorang itu sangat ditentukan oleh pengajaran. Ajaran apa yang lebih awal atau lebih intens diterima, lebih kuat mempengaruhi dan memenuhi pikirannya. Jadi, jangan main-main dengan pangajaran. Ia adalah mesin cetak keperibadian dan pandangan hidup seseorang.
Semaoen, Darsono, Tan Malaka dan Alimin Prawirodirdjo (orang-orang Indonesia pertama yang jadi komunis) awalnya adalah pengikut H.O.S Tjokroaminoto, sebagai anggota Sarekat Islam (SI). Bahkan pernah menduduki jabatan penting di SI. Semaoen, misalnya, menjadi Ketua SI Semarang. Tetapi mereka kemudian menjadi tokoh penting pula di Partai Komunis Indonesia (PKI) –partai yang pernah beberapa kali menorehkan sejarah kelam bangsa ini, dan di pecat dari SI.
Semaoen menjadi angota SI pada 1914 di afdeeling Surabaya. Usianya terbilang masih terlalu muda, 14 tahun. Setahun kemudian, 1915, Ia berkenalan dan akrab dengan seorang sosialis Belanda, Sneevliet, ketua ISDV ( Indische Sosial Democratische Vereniging ) dan Persatuan Buruh Kereta api dan Trem VSTP ( Vereniging van Spoor en Tramweg Personcel ) di Semarang.
Semaoen bersimpati berat kepada Sneevliet dan menyapa orang Belanda itu sebagai “guru”. Tidak salah, karena di tengah orang-orang Belanda bermental kolonial dan merasa superior, Sneevliet justeru menawarkan persamaan dan semangat revolusiner. Maka, Semaoen pun ikut aktif di dua organisasi beraliran komunisi itu. Alimin dan Darsono ikut pula di ISDV.