Jakarta, Tampang.com – Sosok Dedi Mulyadi, politisi yang dikenal dengan gaya "nyablak" dan seringkali memicu perdebatan, terus menjadi perbincangan publik. Dari adu mulut dengan siswi SMA hingga kritik pedas terhadap Pemprov DKI dan DPRD Jabar, sepak terjangnya selalu menarik perhatian. Uniknya, Dedi Mulyadi sendiri aktif menyebarluaskan momen-momen konfliktual dan kontroversial ini melalui akun media sosialnya, yang kemudian memberinya julukan "Gubernur Konten".
Artikel ini menganalisis tiga strategi utama yang digunakan Dedi Mulyadi untuk mendongkrak karier politiknya, yang disebut sebagai tiga "Kon": Konflik, Kontroversi, dan Konten.
1. Konflik: Membangun Citra Pelindung Rakyat Gaya komunikasi Dedi Mulyadi yang konfliktual merupakan perwujudan dari logika populis, yaitu pembelahan antara "kami" (rakyat kebanyakan) melawan "mereka" (elit korup atau kelompok lain). Dedi Mulyadi menampilkan dirinya sebagai pelindung rakyat Jawa Barat dari "musuh-musuh" seperti oknum ormas preman, penambang ilegal, remaja berandalan, serta elit yang lambat dalam bekerja.
Contohnya, keberaniannya turun langsung ke kampung preman, mengirim anak nakal ke barak militer, membongkar tambang ilegal, dan bahkan mengkritik DPRD secara terbuka karena dianggap memperlambat kinerjanya dalam menangani banjir. Determinasi Dedi Mulyadi untuk berkonflik ini membangun citra dirinya sebagai sosok yang melindungi rakyat dari ancaman musuh bersama dan memimpin mereka melampaui keterbatasan sistem birokratis. Jenama "Bapak Aing" menjadi simbol dari citra ini.
Secara psikologi politik, gaya konfliktual ini menyentuh aspek emosional masyarakat. Perasaan negatif seperti marah dan cemas terhadap kondisi hidup divalidasi oleh Dedi Mulyadi, dan kemudian diubah menjadi harapan serta optimisme akan perbaikan di masa depan. Namun, keberhasilan konflik ini juga didukung oleh citra Dedi Mulyadi sebagai "orang biasa" atau anti-elit, yang dibangun melalui bahasa, gaya bicara, gerak tubuh, dan cara berpakaian yang merakyat.