2. Kontroversi: Menjaga Perhatian Publik (Shock Advertising) Kontroversi yang sering diciptakan Dedi Mulyadi bukanlah ketidaksengajaan, melainkan strategi yang disengaja untuk menjaga kesadaran publik (brand awareness) terhadap dirinya. Ini mirip dengan konsep "Pengiklanan Mengguncang (Shock Advertising)" dalam ilmu pemasaran, di mana norma sosial sengaja dilanggar untuk menarik perhatian audiens secara masif.
Contoh paling jelas adalah insiden Dedi Mulyadi menghardik siswi SMA Aura Cinta dengan kalimat "Kalau miskin, jangan kebanyakan gaya!". Ucapan ini menyimpang dari norma kesopanan di Indonesia yang cenderung berbudaya konteks tinggi, sehingga memicu perdebatan luas dan menjadi viral di media sosial.
Selain itu, kebijakan kontroversialnya seperti vasektomi sebagai syarat penerima bansos dan pendidikan anak nakal oleh militer juga dianggap melanggar norma HAM dan agama, yang kemudian berhasil menggalang perhatian publik secara intens. Kontroversi ini tidak hanya meningkatkan atensi publik, tetapi juga memperkuat loyalitas pendukungnya. Ketika pendukung Dedi Mulyadi terpapar kritik terhadapnya, mereka cenderung mempertebal solidaritas dan loyalitas, bahkan sampai membuat konten balasan.
Dalam kasus kritik terhadap Pemprov DKI, Dedi Mulyadi menggunakan metode "Pengiklanan Rivalitas Jenama (Brand Campaign Rivalry)", di mana ia secara terbuka menyerang "jenama rival" (Gubernur Pramono Anung). Konflik terbuka ini berhasil mengarahkan atensi publik kepadanya dan mengonsolidasikan pendukungnya.
3. Konten: Memperkuat Dampak Konflik dan Kontroversi Media sosial menjadi platform krusial bagi Dedi Mulyadi untuk memaksimalkan dampak dari gaya komunikasinya yang konfliktual dan kontroversial. Melalui akun-akun media sosialnya, Dedi Mulyadi secara rajin mempublikasikan video-video yang menampilkan dirinya sedang bertikai atau melakukan tindakan yang mengguncang.