Namun, perjuangan Suu Kyi tidak mudah. Pada tahun 1989, setelah hasil pemilihan umum yang menunjukkan kemenangan besar bagi NLD, Suu Kyi ditahan oleh pemerintah militer dan dikenakan rumah tahanan selama hampir 15 tahun. Selama periode ini, Suu Kyi terus menjadi simbol perlawanan terhadap rezim militer, mendapatkan pengakuan internasional dan penghargaan seperti Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1991.
Peran Politik dan Tantangan
Pada tahun 2010, Myanmar mulai melakukan reformasi politik, dan Suu Kyi dibebaskan dari tahanan rumah. Pada tahun 2015, NLD memenangkan pemilihan umum, dan Suu Kyi menjadi pemimpin de facto negara sebagai Penasihat Negara (jika bukan Presiden, karena konstitusi melarangnya karena kewarganegaraan suaminya). Selama masa jabatannya, Suu Kyi berusaha keras untuk melakukan reformasi dan mengatasi tantangan ekonomi dan politik.
Namun, kepemimpinan Suu Kyi juga menghadapi kritik internasional. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapinya adalah krisis Rohingya, di mana etnis Rohingya, minoritas Muslim di Myanmar, mengalami pelanggaran hak asasi manusia yang parah dan kekerasan. Suu Kyi mendapat kritik tajam dari komunitas internasional karena dianggap tidak cukup melakukan tindakan untuk menghentikan kekerasan tersebut. Meski ia menyatakan bahwa pemerintahannya tidak memiliki kontrol penuh atas militer, kritik terhadap tindakannya dalam krisis Rohingya mengakibatkan penurunan dukungan internasional.
Krisis dan Kembalinya Militer
Kepemimpinan Suu Kyi juga menghadapi tantangan besar pada tahun 2021 ketika militer Myanmar, Tatmadaw, melakukan kudeta dan menggulingkan pemerintahannya. Kudeta ini menyebabkan protes massal dan kekacauan di seluruh negara, dengan banyak orang Myanmar yang kembali turun ke jalan untuk menuntut pengembalian kekuasaan sipil. Suu Kyi ditangkap lagi dan menghadapi berbagai tuduhan, yang dianggap banyak orang sebagai usaha untuk menekan suara demokrasi dan menegakkan kekuasaan militer.