Tampang.com | Penyakit kardiovaskular, khususnya jantung, terus menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat Indonesia. Data BPJS Kesehatan per Mei 2024 mencatat, 1,89 juta orang terdiagnosis penyakit jantung, dan yang mengkhawatirkan, usia penderita semakin muda. Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan, usia rata-rata diagnosis pertama penyakit jantung menurun dari 48,5 tahun (2013) menjadi 43,2 tahun (2023), bahkan 140.206 orang usia 25–34 tahun sudah terdiagnosis. Kondisi ini tidak hanya meningkatkan beban kesehatan, tetapi juga menyebabkan kerugian produktivitas ekonomi nasional yang mencapai triliunan rupiah.
Gaya Hidup Buruk, Keterlambatan Diagnosis, dan Kesenjangan Akses
Ketua Bidang Medis Yayasan Jantung Indonesia (YJI) dr. BRM Ario Soeryo Kuncoro, SpJP(K), FIHA, FAsCC, menjelaskan bahwa serangan jantung pada usia produktif bukan lagi hal langka. "Gaya hidup buruk, seperti merokok, makanan tinggi lemak, kurang gerak, adalah pemicunya. Hal yang lebih parah adalah banyak (pasien) yang terlambat (didiagnosis),” terang dr. Ario dalam diskusi publik "Transformasi Digital dalam Perawatan Kardiovaskular: Kemajuan, Tantangan, dan Langkah ke Depan" (28/5/2025).
Keterlambatan penanganan sebagian besar disebabkan oleh dua faktor utama: minimnya kesadaran akan deteksi dini dan keterbatasan fasilitas kesehatan berkualitas di luar kota-kota besar. Ketua Umum Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) drg. Iing Ichsan Hanafi, MARS, MH, menegaskan bahwa Indonesia, dengan lebih dari 280 juta penduduk, hanya memiliki sekitar 1.500 dokter spesialis jantung. Ini berarti satu dokter harus melayani hampir 190.000 penduduk, dengan persebaran yang tidak merata.
Dari sekitar 3.150 rumah sakit di Indonesia, hanya sebagian kecil yang memiliki layanan jantung lengkap. "Dari sekitar 1.800 rumah sakit swasta, akses teknologi jantung masih sangat terbatas karena terbentur pembiayaan dan kurangnya sumber daya manusia (SDM) spesialis,” jelas drg. Iing. Mayoritas RS swasta dengan layanan terpadu kardiovaskular masih tersentralisasi di Jawa. Oleh karena itu, penguatan jejaring rujukan dan pembangunan sistem pelayanan jantung berbasis kompetensi sangat diperlukan.