Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, dokter Brian Sri Prahastuti, menjelaskan beragam penyakit tidak menular seperti kanker, stroke, dan gagal ginjal berkaitan erat dengan hipertensi dan diabetes melitus, yang salah satunya diakibatkan konsumsi GGL berlebih.
“Dengan demikian, ada urgensi untuk mengendalikan konsumsi gula, garam dan lemak melalui aturan makanan olahan berkemasan, selain edukasi kepada masyarakat tentang pola makan dan olahraga,“ kata Brian.
Terkait dengan penerapan cukai, Brian mengatakan PP itu memang belum secara spesifik mengatur ambang batas yang diperbolehkan dan besarannya.
Dilansir dari situs Kemenkes, beberapa penelitian mengungkapkan Indonesia menempati posisi ketiga di Asia Tenggara dengan konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), sebesar 20,23 liter per orang.
Bahkan disebutkan bahwa konsumsi MDBK itu mengalami peningkatan 15 kali lipat dalam 20 tahun terakhir, dari 51 juta liter pada 1996 menjadi 780 juta liter pada 2014.
Dampaknya, kelebihan konsumsi minuman berpemanis satu porsi per hari akan meningkatkan risiko terkena diabetes melitus tipe 2 sebesar 18%, stroke 13%, dan serangan jantung (infark miokard) 22%.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 dan 2018 menunjukkan peningkatan obesitas penduduk usia 18 tahun ke atas, yakni dari 15,4% menjadi 21,8%. Kemudian untuk usia 5-19 tahun meningkat dari 2.8% pada 2006 menjadi 6.1% pada 2016, sedangkan kategori remaja usia 13-17 tahun sebanyak 14.8% mengalami berat badan berlebih dan 4.6% mengalami obesitas. Obesitas merupakan salah satu faktor risiko terjadinya penyakit tidak menular (PTM), di mana PTM merupakan penyebab dari 80% kasus kematian di Indonesia.
Memasuki SMA, Riski mengaku gaya hidupnya semakin tidak sehat. Dari Senin hingga Jumat, dia kerap begadang untuk bermain gim online.
“Kalau akhir pekan, bisa pagi ketemu pagi lagi. Dan tiap begadang aku minum minuman berenergi saset itu, tambah kopi saset,“ tambah Riski.
Dia mengatakan saat itu tidak mengetahui dampak buruk yang akan dihadapi saat mengkonsumsi minuman yang tinggi gula dan juga zat lain yang berbahaya bagi ginjal.
“Baru-baru ini saja ramai berita dan di sosial media tentang dampak buruk minuman kemasan. Waktu 2015-2016 tidak ada itu, mau dapat info dari mana saya tentang bahayanya? Tidak ada,“ ujar Riski.
Riski pun menyambut baik upaya pemerintah dalam mengendalikan konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) berlebihan dalam produk kemasan.
Berkaca dari pengalaman hidupnya, Riski berharap agar pelaksanan aturan itu harus diikuti dengan sosialisasi yang masif tentang dampak buruk dari konsumsi berlebih produk kemasan yang tinggi GGL.
“Sosialisasinya seperti di sekolah, di lingkungan rumah, hingga televisi dan sosial media, karena saat saya sebelum kena gagal ginjal, tidak tahu dampaknya separah ini, “ katanya.
“Kalau tidak segera dilakukan, kasihan nanti banyak yang seperti saya. Sekarang saja setiap hari, bulan, dan tahun ada orang-orang yang tidak tahu dampaknya [GGL] kena gagal ginjal,“ ujarnya.