Tentu saja, kondisi ini tidak hanya memengaruhi pasien secara individu, namun juga menciptakan dampak yang lebih luas di kalangan para pasien pasca-transplantasi. Mereka terpaksa menerima fakta bahwa stok obat yang mereka miliki semakin menipis, sementara prospek mendapatkan obat selanjutnya semakin suram. Kondisi ini memunculkan ketakutan dan kekhawatiran yang lebih dalam di kalangan para pasien, seperti yang diakui oleh Salsa (27 tahun), seorang pasien lain di RSCM. Untuk mengatasi hal ini, Salsa bahkan terpaksa mengurangi dosis obat yang dia konsumsi agar harganya lebih terjangkau, meskipun dia sadar akan risiko kesehatan yang dihadapi dengan tindakan tersebut.
KPCDI, sebagai wadah bagi para pasien cuci darah dan transplantasi ginjal, memandang perlu untuk mengangkat isu ini ke level yang lebih tinggi. Ketua Umum KPCDI Tony Richard Samosir menyatakan kecaman keras terhadap kelangkaan obat yang telah berlangsung selama berbulan-bulan di RSCM. Dalam pandangannya, situasi ini memiliki potensi untuk merusak kualitas hidup para pasien pasca-transplantasi, bahkan bisa membahayakan nyawa mereka.
Lebih lanjut, Tony menyatakan bahwa kelangkaan obat imunosupresan bagi pasien transplantasi organ bukanlah suatu permasalahan yang sepele. Setiap penundaan dalam pemberian dosis obat itu sendiri dapat mengancam nyawa para pasien, dengan risiko penolakan organ yang bisa berujung fatal. Hal ini menampilkan ketidakpedulian yang terlalu lama dari pihak terkait, yang mengesampingkan hak dan keselamatan para pasien sebagai prioritas utama.
KPCDI juga telah berupaya untuk menghubungi pihak terkait, termasuk Kementerian Kesehatan, Direktur Utama RSCM, dan BPJS Kesehatan, namun hingga saat ini belum ada respons yang memadai dari pihak terkait. Mereka menegaskan bahwa pembiaran terhadap kelangkaan obat untuk peserta BPJS Kesehatan adalah suatu pelanggaran terhadap hak asasi pasien dan berpotensi membahayakan nyawa mereka.