Beberapa nama besar bahkan tak ragu meluncurkan versi mereka sendiri. Lindt, perusahaan cokelat asal Swiss, telah memproduksi edisi terbatas dan kini tengah mengembangkan versi tetap dari cokelat serupa. Shake Shack turut meramaikan pasar dengan milkshake rasa cokelat Dubai, sementara Crumbl sedang menyiapkan varian brownies-nya. Tak ketinggalan, Starbucks juga mendorong kreasi menu buatan pelanggan yang terinspirasi dari tren ini, terutama karena minat dari generasi muda, khususnya Gen Z, terus meningkat.
Salah satu pionir produk tiruan di Amerika adalah Nuts Factory, toko makanan ringan yang berbasis di New York. Mereka mengklaim sebagai toko pertama yang menghadirkan replika cokelat ala Dubai di kota tersebut. Permintaan yang luar biasa membuat mereka harus membatasi pembelian hanya satu batang per orang untuk menjaga stok.
“Kami sempat kewalahan menerima pesanan. Telepon tak berhenti berdering, dan kami harus menambah mesin serta varian rasa agar bisa memenuhi permintaan,” ujar Din Allall, CEO Nuts Factory. Kini mereka mampu memproduksi ribuan batang cokelat setiap hari, membuktikan bahwa tren ini bukan sekadar musiman.
Dalam kurun waktu 18 bulan, tren ini tidak hanya bertahan, tetapi justru terus berkembang dan menjangkau pasar yang lebih luas. Bahkan Trader Joe’s, jaringan supermarket ternama di Amerika Serikat, ikut merilis versi ekonomis dari cokelat ini. Dengan harga hanya US$3,99 per batang, mereka berhasil menjangkau konsumen dari berbagai kalangan.
Meski cokelat ala Dubai ini belum masuk ke dalam menu tetap restoran besar, sinyal pertumbuhan sudah terlihat jelas. Data dari firma riset kuliner Technomic mencatat bahwa penggunaan rasa cokelat-pistachio dalam menu makanan meningkat hingga 22,3% secara tahunan pada kuartal akhir 2024. Ini menandakan bahwa selera konsumen telah mulai berubah, mengikuti tren rasa yang unik dan mewah seperti yang ditawarkan cokelat Dubai.