Wayang, mau tidak mau, berasal dari India. Suatu bangsa yang mengenalkan sistem kasta pada dunia. Aslinya, mulai dari “A” sampai “Z” wayang berkisah tentang kasta ksatria di mana kita diajak memasuki dunia yang serba hebat, gemerlap, dan wah, tetapi dipenuhi intrik. Kemudian, lahirlah lakon carangan “Petruk Dadi Ratu”. Di sini kita diajak memposisikan diri sebagai rakyat jelata.
Ternyata, ketika posisi kita bergeser dari “ksatria” ke “kawula”, semuanya terlihat jungkir balik. Contohnya, ada mantan pembesar negara yang mengatakan, 70 persen pembakaran hutan karena kesengajaan. Padahal waktu masih menjabat tidak pernah mengungkapkan hal itu.
Setelah revolusi berhasil dituntaskan, Petruk pun kembali menjadi kawulo alit, rakyat jelata. Ia kembali mengayunkan kapaknya membelah kayu bakar. Sambil bersenandung tembang pangkur: Mungkin kalau Petruk hidup di zaman modern ia tidak akan mencari kayu bakar karena sudah ada tabung gas. Tapi, ia akan kembali menekuni profesinya sebagai tukang mebel sambil melantunkan lagu-lagu metal.
Ada kisah menarik lainnya tentang Petruk. Petruklah yang dikisahkah menggotong jenazah Abimanyu yang gugur dalam perang Baratayudha. Petruk jugalah yang memandikan serta mengkremasi jenazah Abimanyu.
Di sini menyimbolkan, kalau rakyat tetap ada sekalipun raja telah meninggalkannya. Kedudukan raja sangat tergantung pada rakyatnya. Dan, sampai di akherat pun raja masih menggantungkan diri kepada rakyatnya. Kawula iku ana tanpa wates, ratu kuwi anane mung winates (rakyat itu ada tanpa batas, sedangkan raja itu ada secara terbatas)".
Jadi, bagi yang mengolok-olok Jokowi seperti Petruk dalam lakon “Petruk Dadi Ratu”, seharusnya berharap kalau Jokowi benar-benar berbuat seperti Petruk saat menjadi raja.