Sunan Kalijaga menggambarkan situasi jagad mayapada yang morat-marit. Persis situasi Indonesia pada saat ini. Korupsi meraja lela. Mafia ada di mana-mana, dari migas, sapi, sampai garam. Kapal-kapal asing pencuri ikan dibiarkan berkeliaran tiap malam. Bongkar muat di pelabuhan diperlambat. Urusan birokrasi tidak jelas lagi alurnya.
Bahkan banyak yang mengatakan, kalau sejak masa reformasi, uang sogokan tidak lagi berpindah di kolong meja, tapi sudah dengan meja-mejanya berpindah. Karuan saja semua itu menyengsarakan rakyat. Wakil rakyat yang seharusnya bekerja untuk rakyat malah jadi orang suruhan pengusaha kaya. Lebih lagi para wakil rakyat itu bersorak girang mendukung bakal calon presiden negara lain.
Sunan Kalijaga menggambarkan situasi kesemrawutan mayapada dengan sakitnya Abimanyu. Anak Arjuna yang bakal meneruskan tahta kerajaan Astinapura ini menderita sakit hingga melumpuhkannya. Kelumpuhan Abimanyu sebagai simbol lumpuhnya negara. Karena sakit, maka ketiga wahyu “kekuasaan” yang bersemayam di dalam tubuhnya keluar.
Ketiga wahyu yang keluar dari itu kemudian masuk ke dalam tubuh Petruk yang hanya seorang rakyat jelata, punakawan yang meladeni Arjuna. Inilah simbol ditariknya kembali mandat dari penguasa oleh rakyatnya sendiri. Petruk kemudian menjadi raja di negara yang dinamainya Lojitengara. Ia menggelari dirinya Prabu Wel-Geduwel Beh.