Tidak jarang pula, lingkungan kerja yang kompetitif memicu terciptanya budaya "sibuk bohongan." Di tengah banyaknya tuntutan dan ekspektasi untuk selalu tampil produktif, individu merasa terpaksa untuk menunjukkan aktivitas, meskipun itu hanya untuk memenuhi persepsi orang lain. Fenomena ini dapat dilihat dari cara orang memamerkan aktivitas mereka di media sosial dengan harapan mendapatkan pengakuan, meskipun aktivitas tersebut tidak menghasilkan nilai yang semestinya.
Dalam sistem kerja yang semakin mengutamakan visibilitas over produktivitas, "produktivitas palsu" menjadi semakin mengakar. Banyak orang membenarkan kesibukan tidak produktif dengan alasan untuk menjaga citra atau reputasi di depan rekan kerja dan atasan. Efek jangka panjang dari perilaku ini berpotensi merusak, tidak hanya bagi individu tersebut tetapi juga bagi tim dan organisasi secara keseluruhan. Ketika setiap orang berfokus pada terlihat sibuk, kolaborasi dan inovasi yang diperlukan untuk mencapai tujuan bersama seringkali terabaikan.
Mengenali pola "sibuk bohongan" dan dampaknya penting bagi setiap profesional. Alih-alih jatuh ke dalam perangkap ini, individu seharusnya dapat fokus pada aktivitas yang memberikan dampak nyata dan signifikan baik bagi diri sendiri maupun dalam konteks pekerjaan. Menciptakan budaya di mana kualitas lebih dihargai daripada kuantitas dapat menjadi langkah awal yang baik. Dengan demikian, langkah ke arah produktivitas yang autentik dapat tercipta, membebaskan orang dari beban yang tidak perlu.