Mendaki gunung menawarkan keindahan alam yang memukau, namun di balik pesonanya tersimpan berbagai risiko, salah satunya adalah hipotermia. Kondisi ini terjadi saat suhu inti tubuh turun drastis di bawah batas normal yang aman (35°C), akibat paparan dingin yang berlebihan. Di ketinggian, suhu udara yang rendah, angin kencang, dan kelembapan tinggi menjadi kombinasi mematikan yang bisa dengan cepat memicu hipotermia. Mengetahui cara penanganan yang tepat adalah kunci penyelamat nyawa, baik bagi diri sendiri maupun rekan pendaki.
Mengenali Tanda-tanda Hipotermia: Semakin Cepat, Semakin Baik
Mendeteksi hipotermia sejak dini adalah langkah krusial. Hipotermia tidak datang tiba-tiba, melainkan berkembang secara bertahap. Pada tahap awal, yang disebut hipotermia ringan, korban biasanya mulai menggigil tak terkendali, merasa sangat dingin, kulitnya pucat, dan mungkin mengalami kebingungan ringan atau bicara yang tidak jelas. Gerakan bisa jadi canggung, dan mereka mungkin mengeluh kesemutan.
Jika tidak ditangani, kondisi akan memburuk ke hipotermia sedang. Gigilan bisa berhenti karena tubuh sudah terlalu lemah untuk menghasilkannya. Korban akan menunjukkan tanda-tanda kebingungan yang lebih parah, kesulitan berpikir jernih, koordinasi gerak yang sangat buruk, napas melambat, dan denyut nadi melemah. Kulit mungkin terasa dingin dan berwarna kebiruan.
Pada tahap paling parah, yaitu hipotermia berat, korban bisa tidak sadarkan diri. Napas dan denyut nadi mungkin sangat lemah atau bahkan tidak terdeteksi. Kulit terasa sangat dingin, dan otot-otot bisa kaku. Kondisi ini sangat darurat dan membutuhkan penanganan medis secepatnya karena berpotensi fatal. Oleh karena itu, penting sekali untuk selalu mengamati diri sendiri dan rekan pendaki.