Namun, tidak sedikit pula politisi yang hanya menggunakan isu lingkungan sebagai retorika kosong atau greenwashing untuk kepentingan elektoral. Mereka mungkin hanya berjanji tanpa rencana implementasi yang jelas. Misalnya, berjanji mengurangi emisi gas rumah kaca tanpa menyebutkan bagaimana caranya atau siapa yang akan menanggung biayanya. Atau, mengklaim peduli lingkungan padahal di saat yang sama mendukung industri ekstraktif yang merusak. Penggunaan istilah-istilah seperti "ramah lingkungan" atau "berkelanjutan" tanpa dasar yang kuat adalah taktik yang sering dipakai.
Manfaat dan Risiko Penggunaan Isu Lingkungan dalam Politik
Penggunaan isu lingkungan dalam kampanye politik memang punya sisi positif. Jika dilakukan dengan tulus, hal ini bisa mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan yang benar-benar transformatif. Debat publik tentang lingkungan akan semakin intens, dan masyarakat akan semakin teredukasi. Ini bisa mempercepat aksi nyata dari pemerintah dan sektor swasta untuk beralih ke praktik yang lebih ramah lingkungan. Ketika para pemimpin berkompetisi untuk menjadi yang "terhijau", manfaatnya bisa dirasakan oleh semua.
Namun, ada juga risiko besar. Ketika isu lingkungan hanya dijadikan alat politik, pesan yang tulus bisa jadi terdistorsi. Alih-alih mencari solusi bersama, isu ini bisa menjadi polarisasi dan memecah belah masyarakat. Satu pihak bisa menuduh pihak lain tidak peduli lingkungan, sementara pihak lain bisa membalas dengan menuduh lawan terlalu idealis dan merusak ekonomi. Persaingan politik ini bisa membuat isu yang seharusnya menjadi konsensus bersama malah menjadi komoditas yang diperdebatkan tanpa solusi yang jelas.
Selain itu, jika politisi hanya mengandalkan janji manis tanpa aksi nyata, hal itu bisa menimbulkan sinisme publik. Masyarakat akan merasa dibohongi dan kehilangan kepercayaan pada pemimpin dan sistem politik. Ini bisa membuat mereka apatis terhadap isu lingkungan di masa depan, karena menganggapnya hanya sebatas janji kampanye yang tidak pernah diwujudkan.